worklife.Â
Karena belasan tahun lamanya saya terduduk di kursi terhormat sebagai ibu rumah tangga, izinkan tulisan ini saya masukkan dalam kategoriPekerjaan apapun akan melahirkan kebosanan
Saya bangga menjadi ibu rumah tangga, sama seperti pekerja kantoran bangga atas posisi dan kedudukan mereka di luar sana. Seringkali ini yang mendasari doa-doa saya, agar saya jangan "pulang" terlampau cepat.
Seorang istri, seorang ibu-sebagaimana tertulis pada akun Kompasiana saya-merupakan jabatan kerja yang telah membuat saya sibuk dari pagi hingga sore. Dan di suatu masa, saya benar-benar dilanda rasa bosan karenanya.Â
Suami yang menjadi curahan hati, seketika terpancing kecemburuannya. Beliau menyangka saya telah bosan pula dengannya, bla bla bla.
Saya lalu mencari sendiri jalan keluar dari keluhan ini. Saya belajar membuat blog pribadi dengan harapan dapat refresh dari rutinitas.
Setahun lebih, saya telah meluangkan waktu di sela tugas sehari-hari. Namun irama jantung belum bisa dikatakan bergairah. Sepi keterbacaan, gagal menyentak emosi gembira yang sedianya menjadi pengusir kebosanan.
Hingga suatu ketika saya bertemu juga dengan Kompasiana.com, beyond blogging. Maka bersinarlah hari-hari yang saya jalani.Â
Ini serupa saat orang bertemu lautan luas. Ia bisa teriak dan melepaskan beban tanpa khawatir menarik perhatian orang lain. Maka ia akan merasa plong. Saya pun demikian. Merasa lega sebab telah menemukan solusi.
Tapi tunggu, jangan lupa bersamaan dengan itu kita sekalian juga menghadapi masa pandemi sekaligus Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Jelas, saya menjelma ibu rumah tangga dengan tiga rangkap tugas: merawat keluarga, menulis di Kompasiana, sekaligus menjadi guru pembimbing kedua anak kami. Alamaak!
Lalu bagaimanakah agar rangkap tugas dapat berjalan baik?
Menjadi ibu rumah tangga, atau menjadi pekerja kantoran; sama-sama memerlukan jadwal, kelihaian, dan fokus untuk setiap materi.
Tips yang dapat saya bagikan di sini adalah:
- Hindari nafsu tak terkendali yang dapat merusak tugas lainnya. Misal pun saya ingin konsisten di blog ini, saya jangan memaksakan diri untuk menulis lebih dari sekian artikel dalam sehari, jika memang waktu dan kesempatan tidak memungkinkan
- Sadari tugas utama adalah merawat keluarga. Apalah artinya saya mendapat reward besar kalau keluarga saya menjadi korban. Jangan ngoyo
- Siap cuti menulis, jika prestasi sekolah anak kami menurun. Demikian janji saya sesaat sebelum membuka raport KI3 di bulan-bulan awal saya di Kompasiana. Alhamdulillah, sudah tiga kali menerima raport, kedua anak kami bertahan dengan juara pertama, sama seperti sebelum masa PJJ
- Menjadikan kegiatan menulis, semata-mata untuk mendapatkan kebahagiaan, mengubur kebosanan, berliterasi, menginspirasi, menambah wawasan/ilmu, menggali potensi diri, serta menemukan sahabat sebanyaknya
Apa yang saya dapatkan setelah rangkap tugas bisa berjalan dengan baik?
Saya mendapatkan dukungan dari suami.Â
Suami, semula merasa cukup khawatir saya akan berubah, dan butuh menyepi demi mendapatkan ide menulis. Beliau merasa lega, ternyata saya tak cukup nyentrik adanya.Â
Sebagai contoh, untuk mengisi topik pilihan dengan tema rangkap tugas, saya menemukannya pagi ini saat masak nasi goreng pesanan suami. Diiringi alunan lagu DJ Minang-Menunggu Janji yang mengisahkan bagaimana hidup di rantau dan tak dapat pulang menemui kekasih.
Memenuhi permintaan menyiapkan menu sarapan, berlanjut dengan menulis draft sebagai bagian dari aktivitas terjadwal. (lanjut mendampingi anak dalam tugas sekolah daringnya pada senin-sabtu).Â
Berhubung hari ini libur hari minggu, saya lanjut ke pasar membeli bahan untuk makan siang. Begitu seterusnya, sampai saya merasa sibuk, bersemangat dan lebih bahagia dari waktu yang dulu.
Hal kedua yang saya dapatkan adalah perubahan positip.
Sebagai pribadi yang cukup temperamen, mudah marah dan meledak-ledak; kegiatan menulis yang menjadi bagian dari rangkap tugas, pelan tapi pasti telah mengendalikan karakter tidak sehat tersebut.
Menulis, dimulai dari menemukan masalah yang akan diulas, lalu diberikan penyelesaian. Praktis hal ini merubah cara berpikir saya menjadi lebih berkualitas. Maksud saya adalah, saya tidak mungkin terburu-buru seperti saat terpancing marah. Saya harus runut, terkonsep dan logis. Ini yang penting.
Ketiga, rangkap tugas yang berjalan baik dapat pula membuat saya memandang diri sendiri lebih positip.
Dulu, disebabkan tidak menyadari apa kemampuan saya sesungguhnya, saya pun tidak memiliki respek terhadap diri. Saya mudah tersinggung saat suami tidak mengabulkan misal minta diajak jalan. Saya merasa tidak dicintai, bahkan dengan hal sepele seperti tersebut.
Dengan mendapat apresiasi sesama Kompasianer, mendapat label PILIHAN dari admin, atau artikel sederhana saya didaulat menjadi ARTIKEL UTAMA, lebih-lebih cuan+merchandise-kesemuanya itu telah membuat saya menghargai diri sendiri.
Rangkap tugas, jangan berpikir soal uang
Betapa frustasinya saya di waktu yang lalu, menyadari lebih dari sepuluh tahun lamanya, karya saya hanya sebatas memasak, mencuci dan merawat anak.
Ucapan suami bahwa ibu rumah tangga adalah pekerjaan mulia, tak begitu saja mendinginkan suasana hati yang sedang sumpek.Â
Keberhasilan kedua anak kami meraih prestasi belajarnya di sekolah tatap muka maupun secara online, juga belum membuat saya enteng berjoget saat sesekali mendengarkan musik DJ remix.Â
Sampai suatu hari tiga rangkap tugas menjadi perjalanan karir domestik saya. Irama menghentak tersebut bahkan menjadi cara saya membakar lemak, berolah raga di rumah saja.
Jika pekerja kantoran kerap mendapat rangkap tugas tanpa disertai imbalan/ bonus, saya pun sama. Apa yang saya dapatkan bukanlah tentang kelipatan materi. Dan memang pekerjaan menjadi istri dan menjadi ibu, imbalannya adalah cinta dari keluarga, bukan?
So, jangan berpikir soal uang, yaa. Karena kerja adalah pengabdian.
 (Alamaaakk, senangnya!)
________________
Ditulis untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H