Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pentingnya Menyayangi Anak Yatim Piatu

16 Juli 2021   06:51 Diperbarui: 16 Juli 2021   06:51 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi remaja yatim piatu bersedih (foto dari kompas.com)

Kalau sudah begini, siapakah yang bertanggung jawab bila mereka tumbuh menjadi pribadi liar, murung ataupun apatis?

Di lingkungan yayasan atau panti, anak-anak yatim tumbuh dan berkembang dalam kebersamaan sesama yatim lainnya. Ada pengasuh yang sedikit banyak memberikan arahan dan bimbingan.

Tetapi jangan mengira, anak yatim yang diambil alih keluarga mereka, mendapat kehidupan yang lebih layak, kasih sayang dan ilmu sepantasnya. 

Bisa jadi, iya, memang ada. Maka sang yatim dapat tumbuh mandiri, ceria dan mampu meraih kesuksesan di masa dewasanya.

Saya menemukan kakak beradik yatim piatu yang sejak usia 10 dan 13 tahun, diambil alih dan dirawat sang nenek serta pamannya.

Keadaan ekonomi yang pas-pasan, hanya mengantarkan si kakak perempuan menamatkan SMU. Selanjutnya ia menerima lamaran tetangganya yang berniat memperistri anak yatim untuk mendapatkan rumah tangga yang dilimpahi keberkahan.

Sayang, cita-cita mulia ini tak didukung oleh sang istri. Sebelum genap lima bulan usia pernikahannya, ia sudah berselingkuh dengan duda beranak lima, tetangga depan rumah mereka sendiri. Berkali-kali ia minta diceraikan karena merasa kasmaran dan yakin sang duda akan membawanya terbang tinggi ke awan. Miris, bukan?

Di tengah keluarganya, bukannya paham dirinya sudah mencoreng arang di muka sang nenek, ia justru memberikan perlawanan sekuat tenaga.

Bahkan sempat mengambil gunting besi, entah untuk menganiaya diri sendiri, ataukah untuk membalas paman yang sempat menampar wajahnya. Yang jelas, dari cengkeraman tangannya yang saat itu sedang "kesetanan", gunting besi zaman bahari patah jadi dua!

Dari kisah ini, timbul pertanyaan apakah nenek dan paman tidak menyayanginya sejak lama sehingga ia tega berbuat aib?

Kalau sayang dan mendidiknya cukup baik, mengapa sang yatim tidak memiliki harkatnya sebagai istri, sebagai wanita, dan sebagai seorang muslimah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun