Tidak miliki ayah dan ibu, tidaklah semudah kedengarannya. Apakah sama artinya dengan dunia yang terasa gelap tanpa karunia penglihatan?Â
Entahlah.
Barangkali seperti hanyut di arus sungai, lalu pegangan pada akar pohon pun terlepas.Â
Mereka terhitung minoritas, karena hidup di tengah-tengah orang yang mempunyai orang tua lengkap.Â
Bukan tidak mungkin, sepanjang hidupnya ia merasakan penderitaan batin. Untuk alasan inilah kita dilarang menghardik anak yatim (QS Al Maun: 1-3).
Coba kita bertanya pada diri, apa yang terlintas di pikiran saat mendengar kata anak yatim?
Sebuah panti yang penuh anak kecil dan remaja yang memerlukan uluran tangan?
Ataukah sekelompok anak kecil di malam idul fitri yang ramai memenuhi masjid untuk menantikan para dermawan membagikan amplop putihnya?
Jangan-jangan, mereka ini seperti seekor burung yang patah sayapnya. Tidak dapat terbang jauh, bahkan sulit untuk berkicau seindah yang lain.
Bagaimana mungkin seorang yatim piatu mampu meraih pendidikan tinggi, bila urusan sandang dan pangan saja mengharap kemurahan hati manusia lainnya?Â
Siapakah yang akan memberikan pendidikan akhlak, membangun karakter dan menanamkan hal-hal baik lainnya kepada anak yatim ini?