Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ternyata Ini Brand Saya di Mata Anak

19 Juni 2021   10:29 Diperbarui: 19 Juni 2021   10:49 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berbincang dengan anak perempuan (foto: via kompas.com)

Anak-anak, jika bicara dengan saya, sebagiannya tak saya masukkan ke hati. Misalnya saat menyampaikan pengaduan tentang orang lain. Saya tidak serta merta mempercayai, lalu terbawa emosi. Sebab saya menilai mereka belum cukup paham dalam membedakan sesuatu. Atau belum bisa objektif saat menilai sesuatu yang buruk.

Tapi semalam, sambil melipat cucian kering, saya mendengar si sulung berkata sesuatu yang membuat saya kaget. Saat itu ia berada di sisi saya menyimak video you tube berjudul: mengapa saya mudah tersinggung? Bukan tanpa alasan, setiap hari ia harus menyimak satu atau dua video religi untuk mendapatkan tausiyah agama.

Saat penayangan iklan, saya iseng bertanya, "apakah ibu mudah tersinggung, Kak?"

Sulung saya (13 tahun) menjawab, "Ibu orangnya tegas. Kepada anak, kepada suami dan kepada diri sendiri!"

Wow, saya terkejut karena jawabannya lengkap. "Oya? Bagaimana contoh ibu tegas kepada diri sendiri?" Saya pun bertanya lebih lanjut.

"Ibu, kalau berbuat kesalahan, ibu menyesal, ibu menghukum diri, dan cepat memperbaiki..."

Wow, pikiran saya melayang. Pernahkah? Kapan? 

Rupanya, saya punya brand tersendiri di mata sulung saya.

Begitu video selesai, saya bertanya lagi untuk mengetahui lebih dalam. "Lalu apalagi, Nak"

"Kedua, Ibu orangnya realistis!"

Realistis? Oh, ya, saya rasa yang ia maksud adalah penolakan-penolakan saya bila mendengar alasan-alasan tak masuk akal dan dibuat-buat.

Yang saya tahu, saya selalu berusaha menegakkan keadilan di mana saja dan dengan siapa saja.

Contoh, saat admin Kompasiana tiga kali menghapus tulisan saya yang terdeteksi melanggar FAQ, dan mengancam akan membekukan akun saya jika telah terjadi lima kali pelanggaran; saya malah balas menyampaikan pembelaan. Bahwa saya tidak mengetahui hal-hal tersebut adalah pelanggaran.

Lagi, ketika tiba-tiba ada penghapusan keempat, dan saya merasa sama sekali tidak membuat kesalahan, sebab kali ini saya sudah membaca seluruh peraturan dan berusaha menghindari kesalahan; saya malah mengirim kalimat, 

"saya tidak senang kesempatan saya hanya tinggal satu kali kesalahan. Saya sudah merasa nyaman menulis di Kompasiana. Haruskah saya mencari tempat lain untuk menulis, jika saya senang di sini?"

Sampai-sampai K'ners ada yang menenangkan saya waktu itu, dengan mengatakan: tidak apa-apa Bu Ayra. Kalau dibekukan, tinggal bikin akun dan email baru.

Nah, saya pun spontan menuruti. Saya buat email baru dengan perasaan sedih bercampur geram. Sambil saya post sebuah tulisan untuk testing, diterima oleh admin, atau tidak.

Ternyata oh ternyata, entah karena pesan balasan saya, atau karena hal lain, nyatanya akun saya masih aktif sampai sekarang. Padahal total sudah lima penghapusan oleh admin. Legaa.

Jadi, selalu berusaha menegakkan keadilan, objektif terhadap subjek apapun, ditangkap oleh anak saya sebagai realistis. Hmm...

"Ketiga," katanya lagi, "Ibu itu klasik, jadul!"

Oh, tentang hal ini, sulung saya pernah menawarkan supaya saya menulis tema-tema aktual untuk Kompasiana. Contohnya, drama Korea dan boyband Korea yang sedang in. Sebab, sulung saya pecinta "produk" negeri ginseng tersebut. Beberapa judul film dihafalnya betul, termasuk beberapa kosakata populer serta kuliner dari sana. 

Dulu, saya sempat beberapa kali menulis tentang Korea, dan mendapat view sangat banyak sampai masuk populer dari pagi hingga sore di Kompasiana. Tapi itu untuk mengikuti event. Selebihnya saya memilih tema lain, dengan konsekuensi keterbacaan yang minim.

Rupanya si sulung dapat menyimpulkan bahwa saya tak menyukai hal-hal baru yang sedang trending. Pantaslah dalam beberapa hal dan informasi, saya termasuk "ketinggalan" dibanding si sulung.

"Masih ada lagi, Bu," tuturnya. 

Oya? Wah!

"Ibu paling takut anak-anak ibu bersikap tidak sopan, menjadi sampah, dan membuat malu orang tua..."

Ouhh, saya sangat terharu jadinya. Rupanya sebelia ini, ia dapat menangkap arti kemarahan demi kemarahan yang sering saya lontarkan. Hmmm...

Memang benar, dengan banyaknya kasus di televisi, saya sangat sering mewanti-wanti ketiga anak saya. Bahkan si bungsu Ayra (4 tahun) akan mendapat teguran saat bersikap tidak sopan kepada kami orang tuanya atau kedua kakaknya.

Ilustrasi menegur anak (foto: sayangianak.com)
Ilustrasi menegur anak (foto: sayangianak.com)
Contoh, suatu hari si kecil ini berujar, "Pak, aku tadi bilang sama ibu, mau ke pasar malam. Tapi Bapak pasti belum ada uang. Kapan sih, Bapak gajian?"

Ah, sepintas kalimat ini terdengar lucu dan imut. Tapi jika ditelisik, sangat tidak sopan anak sekecil itu berbicara soal gaji orang tuanya.

Tentang kesopanan ini, saya mendidik cukup keras kepada anak-anak. Apalagi si sulung juga pernah menyampaikan nasihat guru mapel bahasa Inggris di depan kelas, bahwa adab berada di atas ilmu. Nah, tidak salah, bukan?

Saya lalu memancing dengan pertanyaan lain, "apakah ibu sering mengamuk?"

Sejujurnya saya menyadari di balik kelembutan yang sering saya berikan, saya punya sifat tempramen, mudah marah. Tapi untungnya, sejak aktif menulis opini untuk mengikuti event ataupun mengisi topik pilihan admin Kompasiana, sifat tersebut menurun signifikan. Saya rasa saya lebih bisa menahan emosi, lebih tenang dan bijak kepada anak-anak.

"Menurutku ibu bukan mengamuk, ibu itu idealis. Segala sesuatunya ingin sempurna!" lanjutnya.

Saya jadi tercenung-cenung. Benar juga. Saya terlalu sering "ribut" karena menginginkan sesuatu berjalan pada jalurnya, tertuang menurut porsinya. Kalau memakai istilah beberapa orang, saya disebutnya cerewet.

Ilustrasi memotret (foto: assets-a1.kompasiana.com)
Ilustrasi memotret (foto: assets-a1.kompasiana.com)
Seperti pada acara di sekolah anak saya, beberapa kali saya dikomplen cerewet oleh orang tua murid lain.

"Mau foto aja, diatur rapi-rapi, dibenerin baju anak-anak, disuruh hadap betul, lamaa..."

Hahaha...saya terpaksa tertawa di suasana gembira saat itu. Membela diri dengan bilang, "Kayak ngga tahu aku ajaa..."

Pernah pula, yang terasa getir di hati saya, seorang sahabat ibu (alm) saya pernah mengatakan kepada menantu perempuannya, "ya, dia itu memqng detil, sebab dia itu cerewet di rumahnya hahahah..."

Meski saat itu saya menanggapi dengan balas tertawa, sejujurnya saya jadi malu dan tak enak hati.

Waktu itu saya sedang melihat-lihat album foto pernikahan sang anak, dan menangkap beberapa hal tersembunyi yang saya pertanyakan.

Sang menantu menyambut senang dan tidak menyangka, namun sahabat ibu saya justru berkomentar demikian.

Jam di dinding akhirnya merapat di pukul 22.00. Sudah cukup larut malam. 

Baiklah Nak, terima kasih atas penilaiannya yang jujur. Ibu akan bagikan hal ini besok.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun