Yang saya tahu, saya selalu berusaha menegakkan keadilan di mana saja dan dengan siapa saja.
Contoh, saat admin Kompasiana tiga kali menghapus tulisan saya yang terdeteksi melanggar FAQ, dan mengancam akan membekukan akun saya jika telah terjadi lima kali pelanggaran; saya malah balas menyampaikan pembelaan. Bahwa saya tidak mengetahui hal-hal tersebut adalah pelanggaran.
Lagi, ketika tiba-tiba ada penghapusan keempat, dan saya merasa sama sekali tidak membuat kesalahan, sebab kali ini saya sudah membaca seluruh peraturan dan berusaha menghindari kesalahan; saya malah mengirim kalimat,Â
"saya tidak senang kesempatan saya hanya tinggal satu kali kesalahan. Saya sudah merasa nyaman menulis di Kompasiana. Haruskah saya mencari tempat lain untuk menulis, jika saya senang di sini?"
Sampai-sampai K'ners ada yang menenangkan saya waktu itu, dengan mengatakan: tidak apa-apa Bu Ayra. Kalau dibekukan, tinggal bikin akun dan email baru.
Nah, saya pun spontan menuruti. Saya buat email baru dengan perasaan sedih bercampur geram. Sambil saya post sebuah tulisan untuk testing, diterima oleh admin, atau tidak.
Ternyata oh ternyata, entah karena pesan balasan saya, atau karena hal lain, nyatanya akun saya masih aktif sampai sekarang. Padahal total sudah lima penghapusan oleh admin. Legaa.
Jadi, selalu berusaha menegakkan keadilan, objektif terhadap subjek apapun, ditangkap oleh anak saya sebagai realistis. Hmm...
"Ketiga," katanya lagi, "Ibu itu klasik, jadul!"
Oh, tentang hal ini, sulung saya pernah menawarkan supaya saya menulis tema-tema aktual untuk Kompasiana. Contohnya, drama Korea dan boyband Korea yang sedang in. Sebab, sulung saya pecinta "produk" negeri ginseng tersebut. Beberapa judul film dihafalnya betul, termasuk beberapa kosakata populer serta kuliner dari sana.Â
Dulu, saya sempat beberapa kali menulis tentang Korea, dan mendapat view sangat banyak sampai masuk populer dari pagi hingga sore di Kompasiana. Tapi itu untuk mengikuti event. Selebihnya saya memilih tema lain, dengan konsekuensi keterbacaan yang minim.