Hari masih pagi benar. Gelap menutupi halaman. Apalagi langit mendung menjanjikan turunnya hujan sebentar lagi. Aku pun urung memanaskan roda dua.
Aku meraih ponsel di meja, duduk senyaman mungkin di kursi ulin. Ah ya, tentang kursi ini, aku baru sebulan membelinya. Ulin adalah kayu khas Kalimantan yang sangat berkualitas. Anti rayap dan anti air. Tahan sampai ratusan tahun.
Aku memang belum lama dipindahtugaskan ke Samarinda. Baru satu tahun. Dan kesanku tentang kota ini, tenang dan nyaman. Aku berharap pekerjaanku juga lancar. Aku ingin meminang gadis suku Banjar nantinya.
Masih tersimpan chatku dengan Idah, gadis yang memikat hatiku itu. Jawaban dari pertanyaanku pendek-pendek. Tapi jelas tersirat kalau ia gadis yang manja.
Seperti ini, misalnya.
Ading... (artinya adik) saya ingin bertemu orang tuamu. Kapan waktu yang pas, untuk saya datang?
Terserah.
Maksud saya, kalau siang apakah mereka sibuk? Kalau begitu saya datang habis sholat isya, yaa?
Boleh.
Tapi abahmu (ayah) tidak galak, kan? Tapi kalaupun galak, saya tidak akan menyerah.
Kada jua (tidak juga)
Dan yang membuatku tertarik, meski bertatap muka langsung, Idah tetap menjawab pendek-pendek seperti itu. Setiap selesai menjawab, ia akan tersenyum malu dan menundukkan muka. Meski sesaat kemudian, mencuri pandang lagi padaku.
Aku pun memilih hari minggu jam sepuluh, untuk menemui abah dan mamak, orang tua gadis idamanku itu.
Pernah suatu kali, Isye rekanku sama-sama dari Jakarta, menahanku untuk menanam jangkar di sini. Katanya, kita ini ibarat pelaut, datang sebentar lalu pergi lagi. Kita hanya merantau. Jangan mempermainkan anak gadis orang.
Lho? Aku kan sungguh-sungguh jatuh cinta pada gadis setempat. Cikar kanan, vaya kondios, cari laen, pepatah orang Manado yang menceritakan kehidupan seorang pelaut; sama sekali tak terlintas dalam benakku.
Memang, sesampainya di depan halaman rumah Idah, aku agak tertegun. Aku seperti disuguhi kehidupan sederhana, dari deretan rumah Idah dan tetangga kiri kanannya. Rumah-rumah kayu dengan cat yang sudah lama tidak diganti. Halamannya pun tak bisa dikatakan asri, karena tidak ditanami bunga-bunga seperti dalam bayanganku.
Abah Idah, ternyata sama sekali tidak galak. Kuperkirakan usianya sudah lima puluhan. Mamak Idah, berjualan nasi kuning di pondok kecil di depan rumah.
"Kau ini lucu, pake kaget segala dengan mereka," tukas Isye saat kuceritakan pengalamanku.
"Kau kan tahu, Idah-mu itu gadis penjual ikan di pinggir jalan. Dia bekerja untuk meringankan beban kedua orang tuanya. Apalagi dia masih punya seorang adik..." Isye mengomel panjang lebar.Â
Demi cinta, gunung kan kudaki, laut pun kuseberangi. Demikian prinsip orang bercinta. Rintangan apapun akan dihadapi. Begitu pula aku.
Idah dan keluarganya tidak salah. Dan memang tidak ada yang salah dengan cinta. Apalagi sejak awal aku mengenal Idah sebagai gadis sederhana. Aku jatuh cinta pada prinsipnya. Tidak malu berjualan di pinggir jalan. Berhadapan dengan bau amis setiap hari. Padahal menurutku ia bisa meraih lebih.
Aku terus berhubungan dengan gadis itu. Aku rutin menemuinya saat jam istirahat makan siang. Kalaupun banyak pekerjaan, aku pasti menyempatkan video call dengannya. Hari-hariku jadi penuh semangat. Aku membayangkan jika Idah menjadi ibu dari anak-anak kami. Ia pasti sangat penyayang dan sabar.
Ya, sekarang gadis itu sudah mulai berani menatap ke wajahku. Ia tidak malu-malu lagi seperti dulu. Cara berbicaranya pun, sudah mulai menyesuaikan. Rupanya ia sudah tak menganggapku seperti orang asing. Ah, Idah pasti bahagia bila kuajak ke Jakarta. Itu kalau aku ditarik kembali. Kalau masih di sini, biarlah kami menikmati indahnya berumah tangga di kota tepian. Menikmati indahnya masjid Islamic di kejauhan. Merasakan sepoy angin di tepian sungai Mahakam.
**
Awal bulan Juni, aku kembali menemui abah dan mamak Idah. Niatku ingin berbicara serius tentang putri mereka. Aku sampai tak bisa tidur, semalam. Takut sekaligus gugup.
Matahari bersinar cerah. Saat aku datang, pondok kecil di depan rumah Idah sudah sepi. Sepertinya mamak punya pelanggan tetap. Tak perlu lama-lama menggelar dagangan. Langsung ludes.
Duduk di lantai beralas tikar plastik, aku tak berani memainkan ponsel. Kutunggu saja abah keluar menemuiku.
Tak ada yang menarik dari ruang tamu ini. Hanya beberapa foto yang dipasang berjauhan, di dinding. Kuamati yang satu foto anak perempuan berseragam putih. Sepertinya itu pas foto Idah semasa SD.Â
Lalu ada foto sepasang mempelai di pelaminan adat Banjar. Mereka mengenakan pakaian kuning. Hiasan kepala mempelai wanita, kiri dan kanan digantungi roncean bunga melati. Ujung-ujung jari tangan dimerahi daun pacar. Hmm... tampaknya itu pernikahan kakak Idah yang pernah diceritakan.
Untunglah mamak menyuguhi sepiring nasi kuning dan teh hambar. Setidaknya bisa mengatasi rasa grogi yang langka kurasakan.
Ternyata memang istimewa sekali. Nasinya pulen karena beras ditambah lakatan (ketan) saat akan dimasak. Aroma pandan menguar menambah selera. Ada tambahan serundeng kelapa yang gurih. Serta lauk khas bumbu bali ikan haruan (ikan gabus). Masakan mamak Idah, atau calon bumer, luar biasa enak. Kuliner khas Banjar yang banyak dijual sebagai sarapan pagi.
Ternyata kegelisahanku semalam, adalah pertanda. Betapapun aku berusaha menjadi lelaki mapan, bersikap sopan, tak memuluskan cinta yang kurasakan.
"Kami berterima kasih, sampiyan (anda) sudah mau repot datang ke rumah. Sudah menjadi teman anak kami, Idah. Bahkan ingin melamar dan menjadikan Idah istri..."
Sesaat kutatap lelaki di hadapanku. Kerut-kerut di wajahnya, bukti kerja kerasnya selama ini sebagai petani gula merah. Mulai dari memanjat pohon aren, mengambil air sadapan, sampai menjerangnya di atas tungku kayu bakar. Wajan besar yang disebut kawah, menjadi saksi bagaimana ia membesarkan Idah dan kedua saudaranya.
"Terus terang kami belum bisa, mengijinkan, anak kami dinikahi perantau macam sampiyan. Tolong sampiyan jangan tersinggung..."
Bagai petir di siang bolong. Apa yang kudengar saat aku datang ke rumah mereka yang sederhana. Sebuah prinsip yang tak mau anaknya dibawa pergi meninggalkan kampung halaman.
Hujan bulan Juni menderu di atap rumah. Hawa dingin menggigit kedua kaki. Dari balik jendela kaca, kulihat jari-jari hujan berjatuhan menyentuh tanah. Menari bagai anak kecil yang bermain riang.
Aku menaikkan kaki di kursi ulin lainnya. Membungkus diri dengan selimut tipis. Menghapus chat apa saja yang sudah tidak kugunakan. Sebentuk wallpaper gadis penjual ikan di ponselku, apakah sebaiknya kuhapus juga?
SELESAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H