Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Idah, Si Gadis Penjual Ikan

18 Juni 2021   09:08 Diperbarui: 18 Juni 2021   09:17 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari masih pagi benar. Gelap menutupi halaman. Apalagi langit mendung menjanjikan turunnya hujan sebentar lagi. Aku pun urung memanaskan roda dua.

Aku meraih ponsel di meja, duduk senyaman mungkin di kursi ulin. Ah ya, tentang kursi ini, aku baru sebulan membelinya. Ulin adalah kayu khas Kalimantan yang sangat berkualitas. Anti rayap dan anti air. Tahan sampai ratusan tahun.

Aku memang belum lama dipindahtugaskan ke Samarinda. Baru satu tahun. Dan kesanku tentang kota ini, tenang dan nyaman. Aku berharap pekerjaanku juga lancar. Aku ingin meminang gadis suku Banjar nantinya.

Masih tersimpan chatku dengan Idah, gadis yang memikat hatiku itu. Jawaban dari pertanyaanku pendek-pendek. Tapi jelas tersirat kalau ia gadis yang manja.

Seperti ini, misalnya.

Ading... (artinya adik) saya ingin bertemu orang tuamu. Kapan waktu yang pas, untuk saya datang?
Terserah.
Maksud saya, kalau siang apakah mereka sibuk? Kalau begitu saya datang habis sholat isya, yaa?
Boleh.
Tapi abahmu (ayah) tidak galak, kan? Tapi kalaupun galak, saya tidak akan menyerah.
Kada jua (tidak juga)

Dan yang membuatku tertarik, meski bertatap muka langsung, Idah tetap menjawab pendek-pendek seperti itu. Setiap selesai menjawab, ia akan tersenyum malu dan menundukkan muka. Meski sesaat kemudian, mencuri pandang lagi padaku.

Aku pun memilih hari minggu jam sepuluh, untuk menemui abah dan mamak, orang tua gadis idamanku itu.

Pernah suatu kali, Isye rekanku sama-sama dari Jakarta, menahanku untuk menanam jangkar di sini. Katanya, kita ini ibarat pelaut, datang sebentar lalu pergi lagi. Kita hanya merantau. Jangan mempermainkan anak gadis orang.

Lho? Aku kan sungguh-sungguh jatuh cinta pada gadis setempat. Cikar kanan, vaya kondios, cari laen, pepatah orang Manado yang menceritakan kehidupan seorang pelaut; sama sekali tak terlintas dalam benakku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun