Di tahun 2000, saya menyadari impian masuk PTN tinggallah mimpi. Saya tak menyia-nyiakan waktu hanya untuk menangis. Saya mulai menulis, meski hanya dengan modal mesin ketik.
Tanpa seorang mentor, saya terus mengajari diri sendiri. Beberapa di antaranya, nekad saya kirim ke redaksi majalah kesayangan di Jakarta. Saya tidak patah hati, meski saya belum beruntung saat itu.
Ibu memahami hobi menulis saya. Tanpa saya minta, didatangkanlah komputer bekas dan printer untuk saya gunakan.
Saya paling suka menulis cerpen, waktu itu. Tokoh cerita biasanya sepasang kekasih yang terjebak pada ego masing-masing.Â
Salah satunya yang masih saya ingat, sang lelaki mencintai kehidupan laut, sementara si gadis merasa trauma karena sang ayah tewas ditenggelamkan badai. Ia tidak ingin kekasihnya mengalami hal yang sama.
Tema lainnya yang juga memikat hati saya adalah kisah lelaki yang mendua hati akibat tak mempunyai keturunan dari istri sahnya. Klimaksnya, bagaimana lelaki ini menaklukkan hati kedua wanita, saat rahasianya terbongkar.
Entah mengapa saya tak suka memilih konflik kekerasan, persaingan, keserakahan atau permusuhan. Saya lebih suka jika batin, yang berkonflik!
Dari mata, aksara pun menjelma
Jika ditanya, mengapa ketika "melihat" suatu peristiwa, saya dapat menciptakan sebuah tulisan?
Menurut saya, hal tersebut disebabkan saya termasuk overthinking. Apa yang saya lihat, tidak dapat segera saya lupakan. Saya memikirkannya cukup intens. Berjam-jam, berhari-hari, bahkan berminggu-minggu.
Terkadang saya mendapat komplen dari suami. Saya begitu terbawa perasaan dan berlarut-larut mengingatnya. Baper!