Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Pemilik Butik Demikian Toksik, Saya Sangat Terusik!

24 Mei 2021   09:48 Diperbarui: 24 Mei 2021   10:30 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi butik: i.pinimg.com

Ini kisah tujuh tahun yang lalu. Di tahun pertama, kisah ini selalu melintas di kepala.

Sampai saat saya menemukan topik Lingkungan Kerja Toksik, kisah ini pula yang terlintas.

Pada tahun 2014, butik di dalam mall di kota Samarinda, sudah termasuk mentereng. Entah mengapa saat saya mencari lowongan kerja, yang tertangkap oleh mata adalah selembar kertas putih yang ditempel di dinding kaca. 

Saya pun mencoba berbicara pada pemilik butik, dan diterima bekerja di sana mulai besok. Tanpa saya ketahui, tempat sehebat itu, dengan koleksi gaun dan gamis mewahnya, merupakan lingkungan kerja toksik yang saya temukan!

Tidak cukup lama saya bekerja di sana. Sesuai pembicaraan, saya dikontrak selama tiga bulan pertama. Selanjutnya akan dipertimbangkan menurut kondisi. 

Saat itu, dua bulan menjelang ramadhan. Bila pengunjung butik tetap ramai sesudah momen idul fitri, saya akan dipertahankan. Ternyata, butik terhitung sepi atau kurang pengunjung. 

Sebagai karyawan baru, saya berusaha menyesuaikan diri. Berusaha paham dengan jenis busana yang ditawarkan, selera pengunjung mall, tren saat itu, termasuk harga tiap potong busana yang menurut saya selangit.

Ternyata, pemilik butik yang seorang lelaki, sebut saja Pak Jay, sering tidak berada di belakang mesin kasir. 

Dua orang karyawan lama, juga tampak sudah sangat paham bagaimana mengelola butik. Mulai dari menerima kiriman dari pihak ekspedisi, membongkar karung besar, memilah harga sesuai nota, mengatur pergiliran setiap item untuk dipajang, lalu menyisakan bagian lainnya sebagai stok gudang. 

Pak Jay, bisa dibilang cukup sibuk. Jarak dari rumah menuju mall tempat butiknya, sekitar 45 menit dengan mobil. Ia baru bisa menampakkan batang hidungnya, sesudah mengantar putri sulungnya yang baru duduk di kelas satu Sekolah Dasar. 

Namanya Rara. Kulitnya putih, hidung mancung dan rambut kurly. Cantik seperti ibunya. Sementara Dede, anak lelaki bungsu tetap berada di rumah ditemani sang kakek (menurut bahasa di Samarinda: Kai).

Sekitar jam sembilan pagi, Pak Jay muncul dari pintu belakang mall dekat area parkir mobil. Istrinya yang berjalan di sebelahnya, sesaat kemudian membelok menaiki eskalator menuju lantai dua. 

Rupanya, mereka mempunyai dua butik dengan nama berbeda. Lantai satu dan dua, memang merupakan area busana. Tetapi hanya milik suami istri ini yang merupakan butik.

Penghitungan gaji karyawan butik, baik yang dikelola oleh Pak Jay maupun istrinya, menurut saya cukup unik. Gaji pokok sebesar Rp 30.000/hari ditambah uang transport Rp 5000/hari. Uang makan nihil. Total Rp 1.050.000 belum termasuk uang bonus.

Untuk mendapatkan bonus, setiap karyawan harus pandai-pandai merayu calon pembeli. Dengan kalimat sopan dan deskriptif tentunya. Selain berusaha menimbulkan ketertarikan, karyawan harus bisa meyakinkan pembeli, mengapa sepotong busana dengan harga Rp 425.000 pantas untuk dibayar.

Ada pula jenis rok, celana, blouse, atau aksesori lainnya yang dijual dengan kisaran Rp 125.000 sampai Rp 225.000.

Setiap barang yang terjual, dicatat pada buku penjualan yang akan dikalkulasi setiap akhir bulan. Semakin banyak barang yang terjual, semakin banyak pula bonus untuk para karyawan yang dibagi sama rata.

Tidak ada yang aneh dengan atmosfer kerja dua bulan pertama saya bergabung. Empat karyawan yang semuanya perempuan muda, tampak kompak dan saling dukung. 

Bahkan persahabatan juga terjalin baik dengan karyawan butik sang istri di lantai dua. Mereka sering turun mengambil stok barang di butik Pak Jay di lantai satu. Saat jam pulang, mereka juga menghampiri butik tempat kami sekedar untuk bercanda-canda. Di bulan puasa, kami pun berbuka bersama, penuh keakraban.

Hal yang ganjil, baru tercium saat pengunjung butik terbilang ramai dan pembeli berjumlah lebih banyak dari biasanya. Seharusnya, semakin banyak transaksi, semakin penuh daftar catatan barang terjual. Hmm...

Saat bulan ramadhan, Pak Jay memang lebih banyak berada di belakang mesin kasir, daripada "hilang" seperti biasanya. 

Suatu hari, Pak Jay mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas meja, lalu pamit keluar. Karyawan lama lalu memanggil kami (saya dan seorang rekan) untuk mendekati meja kasir. Kebetulan pengunjung sedang kosong.

Kami pun memperhatikan isi catatan penjualan sepanjang hari ini. Ternyata, beberapa item dengan harga Rp 425.000 justru tidak tertulis di sana! 

Kami terkejut. Bukankah kami bekerja keras untuk menjadikannya terjual? Entah di bulan-bulan sebelumnya. Sebab karyawan yang bertugas di posisi kasir, tak merasakan daftar catatan yang "dipangkas".

Keesokan harinya, kami berempat mulai memperhatikan gelagat sang Bos saat  berada di butik. Bahkan karyawan lama mulai berbisik-bisik tentang masalah ini kepada karyawan sang istri. 

Kalau begini caranya, target penjualan yang ditetapkan dalam rapat kerja menjelang bulan ramadhan, akan sulit dicapai karyawan. Padahal, momen seperti ini merupakan sebuah kesempatan. 

Rp 500.000 untuk karyawan butik sang istri, dan Rp 700.000 untuk karyawan Pak Jay, akan menjadi bonus di luar bonus reguler. Lumayan bisa menambah dana THR yang biasanya hanya Rp 100.000.

Sebenarnya, bekerja di butik ini adalah pengalaman pertama saya bekerja, sejak memutuskan menikah. Sebelumnya, saya hanya berada di rumah mengurus suami dan anak-anak.

Pernah bekerja, tetapi semasa gadis, dengan bidang yang sama: penjualan. Tepatnya saat berada di perantauan dan bergabung di sebuah swalayan yang maju pesat. Saya dipercaya menangani pemesanan barang dan stok gudang.

Bekerja di butik ternama di kota saya sendiri, saya justru mendapat kesan "gila!" 

Jika mau dipikir-pikir, mengapa sang Bos justru tampak gugup saat mengantongi uang dari butiknya sendiri. Sepertinya apa yang dilakukan, di luar pengetahuan sang istri yang konon sebagai pemilik modal. 

Ternyata selain cantik dan anggun, sang istri ini anak seorang kaya raya di Samarinda. Kalau ditimbang-timbang, Pak Jay sangatlah beruntung.

Benar saja. Di akhir ramadhan, amplop gaji karyawan tidaklah setebal apa yang kami harapkan. 

Di butik Pak Jay, yang pengunjungnya jauh membludak dibanding lantai dua, bonus ramadhan sebesar Rp 700.000 melayang begitu saja.

Sementara di butik sang istri, Rp 500.000 berhasil didapatkan dan dibagi rata, diluar uang bonus reguler. Plus dana THR tentunya.

Dengan perasaan masygul, saya menghitung isi amplop yang saya terima. Bahkan nilainya sama dengan dua bulan sebelumnya tanpa momen idul fitri. Lha, pembeli kan jauh lebih banyak di bulan ramadhan? Masyarakat ramai-ramai berbelanja baju lebaran. Lho, kok?

Kebetulan, saat perasaan saya galau karena masalah ini, saya dipanggil sang Bos. Pak Jay menyampaikan bahwa saya tidak dilanjut untuk masa berikutnya. Sementara satu rekan lagi, sudah mengundurkan diri karena ingin membantu usaha sang mertua.

Pak Jay ini, di depan sang istri tampak begitu sayang dan melindungi. Saat saya bergabung di counter hanphone di lantai 3 mall yang sama, saya sempat melihat Pak Jay duduk santai bersama sang istri dan seorang tamu bisnis di kafe yang saya lewati. Dari bahasa tubuh dan caranya memandang sang istri berbicara, ia tampak sebagai suami paling baik di dunia.

Namun, dari bisik-bisik karyawan lama yang sering meminta saya mampir saat lewat, sebuah fakta mengejutkan terungkap. Pak Jay selama ini "mencuri" di butiknya sendiri, karena ada wanita idaman lain (WIL) di luar sana!

Begitulah kehidupan. Manusia sulit merasa puas. Lupa di hari kemudian, semua akan dipertanggungjawabkan. 

Semoga kita dapat memetik hikmah.

Salam hangat, Ayra Amirah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun