Suatu hari, Pak Jay mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas meja, lalu pamit keluar. Karyawan lama lalu memanggil kami (saya dan seorang rekan) untuk mendekati meja kasir. Kebetulan pengunjung sedang kosong.
Kami pun memperhatikan isi catatan penjualan sepanjang hari ini. Ternyata, beberapa item dengan harga Rp 425.000 justru tidak tertulis di sana!Â
Kami terkejut. Bukankah kami bekerja keras untuk menjadikannya terjual? Entah di bulan-bulan sebelumnya. Sebab karyawan yang bertugas di posisi kasir, tak merasakan daftar catatan yang "dipangkas".
Keesokan harinya, kami berempat mulai memperhatikan gelagat sang Bos saat  berada di butik. Bahkan karyawan lama mulai berbisik-bisik tentang masalah ini kepada karyawan sang istri.Â
Kalau begini caranya, target penjualan yang ditetapkan dalam rapat kerja menjelang bulan ramadhan, akan sulit dicapai karyawan. Padahal, momen seperti ini merupakan sebuah kesempatan.Â
Rp 500.000 untuk karyawan butik sang istri, dan Rp 700.000 untuk karyawan Pak Jay, akan menjadi bonus di luar bonus reguler. Lumayan bisa menambah dana THR yang biasanya hanya Rp 100.000.
Sebenarnya, bekerja di butik ini adalah pengalaman pertama saya bekerja, sejak memutuskan menikah. Sebelumnya, saya hanya berada di rumah mengurus suami dan anak-anak.
Pernah bekerja, tetapi semasa gadis, dengan bidang yang sama: penjualan. Tepatnya saat berada di perantauan dan bergabung di sebuah swalayan yang maju pesat. Saya dipercaya menangani pemesanan barang dan stok gudang.
Bekerja di butik ternama di kota saya sendiri, saya justru mendapat kesan "gila!"Â
Jika mau dipikir-pikir, mengapa sang Bos justru tampak gugup saat mengantongi uang dari butiknya sendiri. Sepertinya apa yang dilakukan, di luar pengetahuan sang istri yang konon sebagai pemilik modal.Â
Ternyata selain cantik dan anggun, sang istri ini anak seorang kaya raya di Samarinda. Kalau ditimbang-timbang, Pak Jay sangatlah beruntung.