Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dijodohkan, Siapa Takut!

23 Mei 2021   08:08 Diperbarui: 23 Mei 2021   08:27 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: islami.co

Menikah adalah bagian dari proses kehidupan seseorang. Terkadang sifatnya bukan lagi sebagai kebutuhan, tetapi tuntutan. 

Seseorang yang mempunyai usia pantas menikah serta karir cemerlang, harus menebalkan telinga mendengar pertanyaan: kapan married? Kok masih sendiri aja, mana calonnya? Pertanyaan yang kadang membuat kaum jomblo enggan bertemu kerabat di hari lebaran.

Tapi, 22 tahun yang lalu, karib saya tak perlu merasakan ilustrasi di atas. Sebut saja namanya Bayah. Kami berteman akrab sejak kecil, meski usia kami berbeda 2 tahun.

Saya ingat waktu itu tahun 1999, saya masih di kelas tiga sekolah Aliyah, sementara Bayah hanya sempat menamatkan Sekolah Menengah Pertama, beberapa tahun sebelumnya.

Mungkin karena faktor kultur masyarakat, orang tua Bayah saat itu memutuskan akan menjodohkan putri pertama mereka dengan lelaki dari daerah hulu pedalaman Kalimantan. 

Jarak tempuh dari kampung kami melalui darat sekitar 9 jam. Tetapi kalau ingin dikombinasi dengan perjalanan lewat sungai Mahakam, tentu lebih lama lagi.

Tidak mengherankan, bahkan pada akhir 70-an kedua orang tua saya juga menikah karena perjodohan. Baik Bayah maupun orang tua saya, berasal dari keluarga petani. 

Diharapkan dengan jalan pernikahan, beban ekonomi keluarga bisa berkurang. Bahkan untungnya lagi, bila anak yang dijodohkan menemukan kebahagiaan bersama pasangannya, orang tua ikut merasa bahagia.

Agak berbeda dengan zaman sekarang. Beberapa orang dengan usia siap menikah dan sudah mempunyai karir cemerlang, betah menjomblo karena alasan belum menemukan pasangan yang cocok!

Apakah pernikahan dari perjodohan orang tua, selalu bahagia?

Nah, pertanyaan ini yang terus mengusik saya sejak lama. Mereka yang menikah melalui jalan perjodohan sebelumnya, tampak lebih kukuh memegang komitmen perkawinan. 

Berdasarkan pengamatan saya, sesuai beberapa pengalaman orang di sekitar, ada hal yang membedakan karakteristik kedua pernikahan ini, yaitu:

1. Menikah karena cinta, didasari perasaan yang meletup dan bergejolak. Keputusan menikah diambil secara spontan tanpa menimbang lebih jauh.

Pernikahan dengan jalan perjodohan, menggunakan naluri dan pengalaman orang tua untuk menilai calon menantu yang dianggap pantas.

2. Menikah karena cinta, saat mengalami badai rumah tangga, pihak keluarga dan orang tua merasa enggan untuk ikut campur/ terlibat.

Sementara, pernikahan dengan jalan perjodohan, saat mengalami konflik dan hambatan, kedua orang tua merasa bertanggung jawab menjadi penengah dan melakukan mediasi damai. Rumah tangga oun dapat diselamatkan.

3. Menikah karena cinta, saat sedang bertengkar dan emosi bisa bilang: saya menyesal memilih kamu, saya menyesal mencintai kamu!

Sementara pernikahan dari jalan perjodohan, masing-masing akan berusaha menjaga keutuhan dan tidak mengecewakan harapan kedua orang tua. Dengan kata lain, lebih berkomitmen, bukan?

Sahabat Pembaca, karib saya, Bayah, pernikahannya sudah berjalan 22 tahun. Keadaannya tampak baik-baik saja. Putri pertama mereka sudah 4 tahun bekerja, sejak lulus SMU. 

Bayah dan suaminya juga sudah lama punya rumah sendiri. Tiga anak lainnya masih sekolah. Meskipun suami Bayah hanya pekerja kasar atau buruh bangunan.

Apakah mereka pernah bertengkar? Ya, tentu saja. Bayah menuturkan, "bohong kalau tidak pernah ribut-ribut." 

Hanya saja, sang suami selalu bersikap mengalah dan cepat memperbaiki suasana. Selalu mengingat malu pada mertua dan juga ingat akan anak-anak.

Diakui Bayah, selain rajin mencari nafkah serta banyak membantu pekerjaan rumah, suaminya juga rajin membeli benda-benda sederhana untuk dirinya. Dompet, misalnya. Juga pandai menyenangkan hati istri. Salah satunya membuat mi ayam untuk mereka nikmati bersama di tengah malam sambil nonton tv.

Jadi Bayah bisa bilang: dijodohkan, siapa takut!

Sekalipun tidak semua kisah rumah tangga yang diawali dari perjodohan orang tua, berjalan sukses adanya. 

Perjodohan ala Siti Nurbaya yang diilustrasikan dalam sebuah karya novel, berbeda dengan perjodohan karena orang tua memilih berdasarkan naluri dan pengalaman. Calon yang ditunjuk tentu dinilai bertanggung jawab dan setia untuk anak gadisnya.

Sementara, Siti Nurbaya dalam hal ini terpaksa menjadi "alat" untuk melunaskan hutang sang ayah kepada rentenir Datuk Maringgih. Jelas-jelas ia adalah kakek tua yang berkutat dengan riba. Kasihan memang.

Ada beberapa faktor mendasar, yang bisa membawa pernikahan langgeng dan samawa. Meskipun pernikahan dilakukan berdasarkan cinta dua orang muda yang mabuk kasmaran.

1. Komunikasi intens dan lancar

Satu atap, tetapi sedikit berkomunikasi, jatuhnya percuma. Sebaliknya, meski LDR (long distance relationship) tetapi intens berkomunikasi, akan lebih dapat menjaga hubungan dan mencegah salah paham. Jadi, lakukan komunikasi sehangat mungkin dengan pasangan, dengan menjaga rambu-rambu berumah tangga 

2. Pahami kehidupan pasangan

Menikah diibaratkan membawa satu perahu ke titik tujuan yang sama. Akan menjadi mungkin, bila dua nahkoda saling bekerja sama dan menyatukan pandangan.

Tidak mungkin rumah tangga akan berlangsung adem ayem, bila kita menutup mata pada keinginan dan kekurangan pasangan. Kita harus memahami, menyelami serta berempati di dalamnya.

3. Biasakan untuk tidak mengeluh

Bagaimana hubungan persahabatan berlangsung solid, tentu bukan dibentuk dari keluhan, melainkan dukungan.

Demikian pula pernikahan. Bahkan selain dukungan, masih banyak hal lain yang dibutuhkan. Jadi buang jauh-jauh kebiasaan mengeluh pada pasangan yaa.

4. Miliki seribu maaf

Selain menekan ego, memiliki seribu maaf sangat berperan dalam mempertahankan keutuhan rumah tangga.

Entah dari kesalahpahaman, kecerobohan, kebiasaan buruk sampai unsur kesengajaan, akan timbul berkali-kali kekecewaan selama berumah tangga dengan pasangan. 

Bukan berarti kita cepat mengambil keputusan untuk berpisah meski dengan cara baik-baik. 

Salah satu kesalahan yang tidak mengenakkan dan dilakukan secara sengaja adalah selingkuh!

Memaafkan, selain menambah kebijaksanaan dan kedewasaan, juga akan mengobati luka di hati yang tampak tak nyata itu.

Artikel terkait Memaafkan Sama Artinya Mengobati Diri Sendiri

5. Kembalikan segala pertanyaan kepada Allah

Menikah bukan untuk menghindari sebutan "perawan atau bujang tak laku" di masyarakat. Tetapi untuk mengikuti aturan dari sang khaliq. 

Maka, bila ada kesusahan dan pertanyaan saat "badai" melanda rumah tangga, kembalikan semuanya kepada Allah swt. Dia-lah yang akan memberikan jawaban serta membuka hari yang baru untuk kita.

Semoga bermanfaat 

Ayra Amirah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun