Pembaca yang budiman,
Dalam keseharian kita, meski sudah berusaha sekuat tenaga, namun konflik dan gesekan menjadi suatu hal yang tak terhindarkan. Dan ini wajar. Manusia tempatnya salah dan lupa, bukan?
Unsur sengaja atau tidak, bisa melatarbelakangi seseorang berbuat kesalahan. Dan sangat beruntung, bila sempat meminta maaf dan dimaafkan sebelum terlambat. Sebelum ajal datang menjemput.
Memberi maaf itu tak mudah
Kalimat seperti ini, menurut saya adalah perangkap. Sebuah bisikan yang membela harga diri, tapi sebenarnya menjerumuskan kepada dosa.
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"... Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang” (QS An Nur: 22)
Demikianlah Allah swt mensyari'atkan agar kita saling memberi maaf. Memang ada kalanya rasa sakit yang diterima, susah untuk dinetralisir. Sisi kemanusiaan telah terluka, terzholimi. Tapi percayalah, ini adalah penyakit hati.
Sebenarnya, mengapa memaafkan itu sulit?
Saya punya beberapa alasan berdasarkan pengalaman orang-orang di sekitar:
1. Luka karena bahasa, lebih kuat dalam ingatan
2. Menganggap marah adalah reaksi yang wajar
3. Menganggap marah, efektif untuk menghukum kesalahan
4. Merasa membutuhkan waktu agar dapat berdamai dengan hati
5. Perasaan dendam sulit dihilangkan
Namun sadarkah, kelima hal tersebut pada gilirannya akan memantik api permusuhan, dan merusak ukhuwah/persaudaraan.
Sementara Nabi saw telah mengibaratkan sesama muslim sebagai satu tubuh. Bila satu bagian sakit, maka bagian lainnya akan ikut merasakan.
Paranoid
Paranoid merupakan gangguan/masalah pada kesehatan mental. Termasuk di dalamnya adalah menyimpan dendam, rasa takut berlebih, serta tidak dapat percaya pada orang lain.
Sebaiknya hindari sikap menyimpan dendam. Ini akan menyelamatkan kita dari hal-hal lain yang mengikutinya. Inilah mengapa kita perlu belajar memaafkan orang lain. Untuk mengobati diri sendiri dari sebuah gangguan kesehatan mental.
Hati-hati dengan masa kecil
Saya bersyukur, sebagai seorang ibu, saya cukup concern terhadap apa yang dialami anak-anak saya di masa kecil.
Saya berhati-hati agar tidak menciptakan pengalaman traumatis kepada mereka. Saya percaya, apa yang dialami saat ini akan membawa dampak di masa depan.
Begitu pula sikap legowo untuk memaafkan, harus dilatih sedari kecil. Bagaimana anak-anak saling berkonflik satu sama lain, lalu belajar menemukan solusi dari permasalahan tersebut.
Saya memilih metode komunikasi. Saya suka mengajak anak-anak mendengar dan menyampaikan pendapat. Saya menyenangi anak-anak dengan interesting tinggi, pro aktif untuk menanggapi permasalahan di sekitarnya.
Mengobati diri sendiri
Terkadang orang-orang menyebut sebagai upaya menerima keadaan. Berdamai dengan keadaan.
Saya terkesan dengan prinsip seorang sahabat di masa belia kami. Saat itu saya bertanya, "mengapa engkau tidak menangis (setelah hal menyakitkan ini)?"
Sahabat tersebut menjawab, "saya hanya menunggu senin menjadi selasa, lalu selasa menjadi rabu. Semuanya akan hilang. Semuanya akan kembali normal. Kita hanya perlu waktu beberapa lama, seperti kita menunggu hujan reda..."
Percakapan ini sudah berlalu lebih dari 14 tahun. Saya tetap mengingatnya. Saya meniru cara dia untuk menghindari keterpurukan dan dendam. Bukankah di dunia ini tawa dan tangis datang silih berganti?
Dendam selalu menghancurkan
Perasaan dendam, selalu bermula dari perasaan minus. Merasa tersinggung dan terhina. Lalu tidak terima.
Di momen ini, manusia semakin mempertahankan "harga dirinya". Mempertahankan nilai-nilai yang diyakininya. Tidak ingin diganggu gugat pihak lain.
Padahal, semakin nafsu amarah diturutkan, semakin setan berhasil menjerumuskan. Semakin membabi buta hingga melakukan dosa besar lainnya. Ujung-ujungnya rasa penyesalan lah yang timbul.
Contoh:
Dua orang bersaudara yang salah satunya merasa dipilih kasih. Ia tidak akan peenah ikhlas mencintai saudaranya. Dengan mudah akan timbul gesekan dan perselisihan.
Setelah bertahun-tahun, ia sampai lah pada puncaknya. Ia tidak dapat lagi menerima perlakuan tidak adil dari orang tua. Sekalipun ini hanya penilaian diri sendiri yang kurang berdasar dan emosional.
Suatu hari, terjadilah hal yang tidak diinginkan. Ia tega menghilangkan kehidupan saudaranya. Entah apa yang merasuki, dan kekuatan darimana yang mendorongnya.
Akhirnya, penjara lah tempatnya.
Obati segala ganjalan dengan maaf
Banyak terapi dapat kita lakukan. Mulai dari hal-hal sederhana dan mudah dilakukan. Seraya meminta petunjuk dan kemudahan dari sang pemilik hati, Allah sang khaliq.
Tumbuhkan pula hal-hal seperti berikut:
1. Pahami, setiap manusia dapat melakykan kesalahan
2. Bayangkan suatu hari, diri kita berbuat salah yang sama
3. Yakini, setiap orang mungkin akan belajar dari kesalahan
4. Ingat janji Allah, bila kita memberi kelapangan bagi orang lain, maka Allah akan memberi kelapangan kelak di hari kiamat
5. Jadikan hal yang pahit dan dilalui dwngan sabar, sebagai ladang pahala
Demikian, semoga kita diberikan kelembutan hati. Dengan mental yang sehat, hidup akan jauh lebih bahagia.
Salam santun, Ayra Amirah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H