Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Jalan-jalan ke Tepian Mahakam, Yuk!

13 April 2021   07:58 Diperbarui: 13 April 2021   09:00 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kantor Gubernur Kaltim (dokpri)

Setiap kita punya kampung halaman. Saya punya kampung halaman yang saya cintai, Sahabat Kompasianer juga punya kampung halaman yang dibanggakan.

Apakah setiap anggota masyarakat mempunyai rasa cinta dan bangga akan daerahnya? Mungkin tidak.

Salah satu kebahagiaan saya berada di Kompasiana, dapat mengenal daerah-daerah lain melalui berbagai tulisan baik budaya, wisata maupun dari segi kuliner. 

Tulisan mereka menarik dan membuat saya semakin yakin bahwa Indonesia sangat-sangat beragam. Itu sebabnya kita patut bangga. Segala perbedaan tersebut memperkaya negeri tercinta.

SAMARINDA, mungkin belum banyak yang mendengar. 

Kota kelahiran saya ini ditetapkan legitimasi politis atau hari jadinya pada kepemimpinan walikota HA Waris Husain yaitu pada 21 Januari 1668. Luas wilayahnya adalah 718 km persegi yang terbagi menjadi sepuluh daerah kecamatan dan merupakan kota terpadat di seluruh Kalimantan (sumber info buka).

Sungai Mahakam adalah salah satu ikon kebanggaan masyarakat, di samping bermanfaat sebagai sumber kehidupan warganya. Berbagai festival pun sering diadakan. Sayang, sampai hari ini saya belum pernah menyaksikan secara langsung karena riskan dengan gejolak keramaian yang ada.

Di usia dua puluh tahun, saya meninggalkan daerah asal untuk pertama kali. Berada di anjungan kapal Tidar milik pelni dan melihat laut lepas, sungguh pengalaman yang sangat mengesankan.

Saya berkesempatan melihat kota Surabaya dari dekat, dan berkunjung di kebun binatang yang tak ada di daerah saya, pada waktu itu.

Saya menemukan nuansa persawahan di desa-desa kabupaten Kediri dan Malang. Ini pun pengalaman pertama. Sayang saya dan rombongan tidak bisa berlama-lama. Seminggu sesudah lebaran, kami ikut arus balik para pemudik, pulang lagi ke Samarinda.

Delapan bulan kemudian, saya bertolak lagi ke kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah. Saya bertemu suami dan melahirkan anak pertama di kota kecil nan sejuk berjuluk kota cengkeh ini.

Kurang lebih lima ratus kilometer arah selatan, adalah kampung halaman suami. Kami sempat tiga bulan berada di kota seribu lembah- julukan kota Palu, sebelum kembali lagi ke Tolitoli hingga genap lima tahun.

Menjelang akhir 2009, saya kembali pulang ke kampung halaman dan setahun kemudian melahirkan anak kedua.

Tahun 2016 saya mengajak kedua anak saya menemui kakek dan indok mereka di kota Palu. Saat itu saya sedang mengandung delapan bulan dan ingin melahirkan anak ketiga di kampung halaman suami, sambil suami pulang menemui orang tua dan seluruh keluarga.

Dua tahun kami berada di sana, sebelum mendapat kabar bahwa ibu saya sakit keras. Kami boyongan lagi, pulang ke Samarinda. Kami mengurus surat mutasi sekolah dua anak kami dan berencana menetap saja di kota kayu-julukan kampung halaman saya.

Membaca kisah-kisah dari sahabat Kompasianer, ditambah pengalaman pergi ke beberapa tempat, akhirnya meletupkan rasa cinta dan kebanggaan pada kampung halaman sendiri. Tadinya perasaan seperti demikian terasa biasa saja. 

Pada senin kemarin, suami berkesempatan mengajak saya jalan-jalan keliling kota Samarinda, sambil berbelanja beberapa alat kerja beliau. 

Mencari jalur sepi, menghindari kemacetan lalin menjelang ramadhan (dokpri)
Mencari jalur sepi, menghindari kemacetan lalin menjelang ramadhan (dokpri)
Suami setuju saya mampir sebentar di tepian sungai Mahakam untuk bernostalgia. 

Di masa kanak-kanak, saya dan ibu harus menumpang kapal kecil untuk menyeberangi sungai, pergi ke pusat belanja bernama pasar pagi, atau untuk mengunjungi keluarga di kecamatan lain.

Saat sudah berumah tangga dan mempunyai dua orang anak, saya dan suami kerap mampir ke tepian sungai Mahakam untuk menikmati suasana sore. Selain kami, ada banyak keluarga lain yang juga datang untuk bersantai. 

Sebelumnya, kawasan ini sangat ramai karena dibuka wahana bermain anak. Suasana malam hari, justru membuat tempat ini kebanjiran pengunjung. Pada masa pandemi, keadaan jauh lebih sepi dan wahana bermain anak tampak sudah ditutup.

Tampak tiga ponton bermuatan batubara (dokpri)
Tampak tiga ponton bermuatan batubara (dokpri)
Ternyata puluhan tahun berlalu, pemandangan di sungai Mahakam masih sama. Banyak ponton bermuatan batubara menuju pelabuhan fery. Khas, dan inilah komoditas sumber daya alam kota Samarinda.

Selain nyaman untuk bercengkerama bersama keluarga dan sahabat, beberapa orang yang opurtunis biasa menghabiskan waktu sambil memancing di tepian sungai Mahakam. Ikan yang biasa didapat adalah Patin, Kotek dan Haruan/Gabus. Suami juga pernah iseng mendapatkan.

Mesjid Islamic Centre dalam zoom dan highlight (dokpri)
Mesjid Islamic Centre dalam zoom dan highlight (dokpri)
Saya sendiri cukup nyaman duduk memandang mesjid Islamic Centre di kejauhan meski sedikit dilapisi kabut. 

Koridor mesjid dilihat dari gerbang utama (dokpri 2013)
Koridor mesjid dilihat dari gerbang utama (dokpri 2013)

Mesjid ini merupakan mesjid terbesar dan termegah kedua se-Asia Tenggara setelah mesjid Istiqlal di Jakarta. Mesjid Islamic Centre dibangun pada 2001 dan menjadi ikon religi kota Samarinda.

Dengan luas bangunan 43.500 m persegi, area parkir yang sangat lapang ditambah basement seluas lebih dari 10.000 m persegi, mampu menampung 45 ribu jamaah.  Menara cantiknya dibuat setinggi 99 m. Hmm.... semoga masyarakat lebih bersemangat mendatangi mesjid untuk beribadah yaa.

Setelah puas memandang, saya dan suami melanjutkan perjalanan.

Taman SAMARENDAH di pusat kota, dekat dengan lapangan Kinibalu tempat pertunjukan ikan pesut (dokpri)
Taman SAMARENDAH di pusat kota, dekat dengan lapangan Kinibalu tempat pertunjukan ikan pesut (dokpri)
Kota Samarinda era '80an dan sekarang, tentu saja jauh berbeda. Disamping memperhatikan dan mempertahankan slogan kota TEPIAN (teduh, rapi, aman dan nyaman), kepala daerah terpilih senantiasa memperhatikan hal kebersihan serta simbol-simbol kecil berupa taman-taman di tengah kota. Salah satunya adalah taman SAMARENDAH (merujuk dari bahasa Kutai) yang dibangun pada tahun 2015.

Wilayah Samarinda seberang serta Jembatan Menara Kembar pada bagian highlight (dokpri)
Wilayah Samarinda seberang serta Jembatan Menara Kembar pada bagian highlight (dokpri)
Sayang kami tak berkesempatan mengambil gambar jembatan Kembar yang baru saja diresmikan, merupakan penghubung kecamatan Palaran dan Samarinda seberang menuju Samarinda kota yang dulu ditempuh dengan kapal kecil saja. Jembatan ini melengkapi keberadaan jembatan Mahakam yang dulunya menjadi satu-satunya akses Samarinda-Balikpapan.

Nah Sahabat Pembaca, demikianlah sedikit cerita tentang kota kelahiran atau kampung halaman saya tercinta. Semoga melengkapi kisah-kisah sahabat Kompasianer yang bercerita tentang daerahnya pula.

Samarinda, 13 April 2021

Salam hangat, Ayra Amirah.

Referensi buka

Sumber foto: dokumen pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun