Kurang lebih lima ratus kilometer arah selatan, adalah kampung halaman suami. Kami sempat tiga bulan berada di kota seribu lembah- julukan kota Palu, sebelum kembali lagi ke Tolitoli hingga genap lima tahun.
Menjelang akhir 2009, saya kembali pulang ke kampung halaman dan setahun kemudian melahirkan anak kedua.
Tahun 2016 saya mengajak kedua anak saya menemui kakek dan indok mereka di kota Palu. Saat itu saya sedang mengandung delapan bulan dan ingin melahirkan anak ketiga di kampung halaman suami, sambil suami pulang menemui orang tua dan seluruh keluarga.
Dua tahun kami berada di sana, sebelum mendapat kabar bahwa ibu saya sakit keras. Kami boyongan lagi, pulang ke Samarinda. Kami mengurus surat mutasi sekolah dua anak kami dan berencana menetap saja di kota kayu-julukan kampung halaman saya.
Membaca kisah-kisah dari sahabat Kompasianer, ditambah pengalaman pergi ke beberapa tempat, akhirnya meletupkan rasa cinta dan kebanggaan pada kampung halaman sendiri. Tadinya perasaan seperti demikian terasa biasa saja.Â
Pada senin kemarin, suami berkesempatan mengajak saya jalan-jalan keliling kota Samarinda, sambil berbelanja beberapa alat kerja beliau.Â
Di masa kanak-kanak, saya dan ibu harus menumpang kapal kecil untuk menyeberangi sungai, pergi ke pusat belanja bernama pasar pagi, atau untuk mengunjungi keluarga di kecamatan lain.
Saat sudah berumah tangga dan mempunyai dua orang anak, saya dan suami kerap mampir ke tepian sungai Mahakam untuk menikmati suasana sore. Selain kami, ada banyak keluarga lain yang juga datang untuk bersantai.Â
Sebelumnya, kawasan ini sangat ramai karena dibuka wahana bermain anak. Suasana malam hari, justru membuat tempat ini kebanjiran pengunjung. Pada masa pandemi, keadaan jauh lebih sepi dan wahana bermain anak tampak sudah ditutup.