Setiap pagi buta, Jenifer sudah membuka mata. Sebenarnya bukan mau bangun pagi layaknya anak sekolah atau wanita bekerja, tapi akhir-akhir ini tidurnya gelisah. Ia mulai berpikir dirinya mendapat gejala insomnia.
Jenifer mengecek ponsel di meja. Tak ada pesan whatsApp dari Roy. Memang lelaki kaya itu berpesan tak usah berhubungan lewan media apapun. Tunggu saja ia datang.
Sekilas Jenifer melirik nama kakak perempuannya, Susan. Sambil membaringkan tubuhnya lagi di kasur, ia meyentuh bulatan hijau tanda pesan masuk belum terbaca.
"Irish agak stabil hari ini. Pandangan matanya tak kosong lagi. Anakmu mulai menatap dan perlahan mendengarku bicara. Terus berdoa untuknya, yaa..."
Wanita berkulit mulus itu memejamkan matanya. Bukan karena mengantuk, tapi untuk menahan rindunya bertemu Irish. Mereka tak boleh sering bertemu, atau semuanya akan kacau.
Nada panggil khusus Ashita e no Tegami tiba-tiba mengalun lembut dari ponsel Jenifer.
Asu wo egakou koto wo yamenaide
Jangan pernah menyerah melukis masa depan
Ima yume no naka e
Dan kini kumasuki mimpi itu
Kelopak matanya membuka. Bola hitam kelam di matanya menangkap nama lelaki itu. Jenifer cepat bangkit.
"Sayang, dandan yaa, otw soalnya..."
"Oke Roy, agak lama yaa, belum mandi juga " sahutnya. Lalu dari bibir mungilnya, Jenifer memperdengarkan suara kecupan.
Sudah delapan bulan, ia menjadi pujaan lelaki gagah bernama Roy. Roy sendiri adalah sosok idaman mirip dosennya di kampus, dulu. Tinggi, gagah dan kharismatik.
Jenifer bukan tidak tau, cintanya menyasar pada orang yang salah. Roy sendiri yang menceritakan, saat ia tak bisa menginap di suatu malam minggu. Anak-anak Roy membutuhkannya, setidaknya sekali sepekan.
Selesai mandi, tubuh Jenifer yang masih basah dan hanya dibalut handuk putih, memantul di cermin. Ia memikirkan warna apakah yang menarik di hari senin pukul sepuluh seperti saat ini?
Tangannya memilah bajunya yang tergantung di lemari. Ada kuning, pink, toska, blaster, kotak, polkadot...
Jemarinya yang ramping mendarat di kening. Wanita itu bingung, warna cantik apa yang belum pernah memikat lelaki itu. Semuanya sudah. Bahkan sebagian koleksinya baru saja dibeli.
Jenifer bergeser ke depan cermin. Ia mematut wajahnya yang tak bergairah. Ia bukan tak cantik, tapi lesu. Pasti karena beberapa minggu ini jam tidurnya tak karuan. Ia gelisah akan sesuatu.
Ah, sudah. Tak ada waktu untuk meragu.
Wanita berambut coklat jelmaan merk terbaik itu, menyambar setelan pendek bercorak mawar merah. Roy belum pernah melihatnya mengenakan pilihannya kali ini. Dan wajahnya yang kuyu, akan kelihatan segar dengan lipstik sewarna mawar di bajunya. Bedak putih tanpa pondation, hanya sedikit maskara hitam.
Jenifer memutar-mutar pinggangnya, memastikan ia tak mengecewakan mata pengagumnya. Lalu diraihnya parfum Cherry Blossom di rak kecil.
Tepat ketika terdengar pintu rumahnya diketuk, ia sudah menjadi sempurna.
Sebuah wajah menyambutnya dengan senyum misterius, senyum yang selalu disukai Jenifer. Lelaki itu masuk, lalu terdengar suara pintu dikunci.
Sesaat keduanya berpelukan, erat dan hangat.Â
"Kita ngga mau jalan, kan?" wanita itu memastikan. Perasaan lesu benar-benar memengaruhinya.
"Masih susah tidur, semalam?" lelaki itu bertanya balik. Diintipnya halaman samping melalui korden jendela yang terbuka separuh. Roy suka, saat ada burung kecil melompat-lompat di pohon Angsana. Suasana begitu damai baginya. Apalagi ada Jenifer yang merangkul manja di perutnya.
"Kita ke psikiater saja. Lebih awal lebih baik. Masih bisa sembuh dengan terapi ringan dan obat..." suara berat Roy bergetar-getar di telinga kanan wanita itu. Ia paling suka mendengar suara jantung Roy, dengan menempelkan pipi kanannya di dada lelaki itu.
"Ini kan hari senin, ngga sibuk?"
Jenifer menatap Roy menyentuh-nyentuh layar ponselnya, lalu menekan ikon speaker.
Wanita itu mendengar semua percakapan. Besok ia dan Roy akan bertemu dokter Sylvia Detri untuk mengatasi keluhannya.
**
Jenifer melenggang di koridor rumah sakit sendirian. Ia sudah hafal arah dan ruang-ruang yang biasa dilewatinya. Sudah dua bulan ini ia menjadi pasien.Â
Tidak mengapa kali ini ia hanya sendiri. Wanita muda itu berharap Roy berhasil mendapatkan proyek yang dilobikan hari ini. Sedan Altis putih yang baru saja jadi miliknya, tentu cukup menguras kekayaan Roy.
Sesampainya di depan ruang yang dituju, ponselnya justru berbunyi. Dari nada deringnya, Jenifer tahu ini bukan Roy. Dengan rasa penasaran, segera didekatkannya benda itu ke telinga.
Dengan rasa terkejut dan menahan nafas, Jenifer berbalik arah meninggalkan pintu yang belum sempat ia ketuk. Bergegas menuju rumah sakit Dharma Nugraha tempat Susan dilarikan setelah  mengalami tabrak lari.Â
Adalah maut, yang tak bisa dicegah.
Saat itu kakaknya keluar dari apotik menebus obat untuk Irish. Saksi mata mengatakan Susan terburu-buru menyeberang jalan menuju swalayan di seberang jalan. Bertepatan sebuah motor melesat seperti kilat. Kakaknya terlambat menghindar dan terlempar jauh.
Wanita itu menutup telinganya. Tak mau mendengarkan apa-apa lagi. Tinggal tangisnya berderai-derai di depan ruang ICU. Sampai seorang dokter laki-laki menyampaikan berita.
Jenifer masih tergugu di bawah pohon Kamboja yang menaunginya. Sepasang matanya begitu sembab. Pipinya memancarkan rona merah, pertanda emosinya belum stabil.
**
Ini adalah tahun kedua hubungannya dengan Roy. Istri lelaki itu kini sudah mengetahui siapa selingkuhan suaminya. Roy yang mengatakannya. Akhirnya semua ini memang tak bisa disembunyikan.
Jenifer sedikit pun tak takut dihujat. Sebutan pelakor baginya hanya angin lalu. Anak gadis lelaki itu sempat mencaci-maki habis dirinya di instagram. Wanita itu tak ambil pusing. Semua pasti akan terjadi.
Atau wajah sinis tetangga setiap kali mobilnya melewati jalan komplek. Seakan dirinya lebih hina dari pencuri mobil. Padahal dulu saat suaminya masih ada, para tetangga dengan senang hati menyapanya saat berjalan pagi bersama Irish.
Juga bukan masalah ini, yang membuat Jenifer terusik. Harga diri hanyalah istilah dalam kamus bahasa, tapi tidak ada di otaknya.
Seharusnya Roy menemuinya malam ini. Dengan sebuket bunga ungu yang disukainya dan sebuah kecupan.
Bulan lalu mereka pernah merencanakan menandai hari anniversary dengan pergi ke Raja Ampat. Memotong kue cokelat sambil menikmati pemandangan bawah lautnya yang dahsyat.
Bulan keemasan di langit, tampak bergulir dalam kaca jendela kamarnya. Kontras dengan kegelapan yang memeluk malam. Jenifer melihat ujung-ujung daun Angsana bergoyang ditiup semilir angin. Semuanya begitu sepi dan hampa.
Air mata bening mengalir di pipi Jenifer.
Irish tak mungkin hidup tanpa Susan yang merawatnya. Wanita itu tahu anaknya lebih pantas berada di surga sekarang.
Dan Roy lelaki gagah itu tidak akan pernah datang lagi untuknya. Bahkan tak mungkin meneleponnya untuk waktu yang lama. Lelaki itu tak akan memintanya berdandan wangi dan bilang sudah otw. Entah, apakah ada yang bisa mengeluarkannya dari penjara.
Jenifer masih sempat menatap buket mawar di atas meja riasnya. Sudah kering memang. Sudah sekitar dua mingguan dikirimkan jasa ojol sampai ke depan pintu rumahnya.Â
Pada secarik kertas tertulis kalimat singkat: untuk Mawar Berduri, wanita tanpa perasaan!!!
Jenifer melihat bunga-bunga itu memang banyak duri, tidak seperti buket mawar biasanya. Siapakah pengirimnya??
Wanita itu mengalungi lehernya dengan tambang. Derai-derai air mata di pipinya mulai mengering. Keputusannya sudah bulat. Segera Jenifer menjatuhkan kursi yang dipijaki. Lalu meregang-regang dalam pelukan malam yang sepi.
SELESAI
Samarinda, 11 April 2021
Sambut Ramadhan dengan hati yang bersih. Salam hangat,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H