"Kita ngga mau jalan, kan?" wanita itu memastikan. Perasaan lesu benar-benar memengaruhinya.
"Masih susah tidur, semalam?" lelaki itu bertanya balik. Diintipnya halaman samping melalui korden jendela yang terbuka separuh. Roy suka, saat ada burung kecil melompat-lompat di pohon Angsana. Suasana begitu damai baginya. Apalagi ada Jenifer yang merangkul manja di perutnya.
"Kita ke psikiater saja. Lebih awal lebih baik. Masih bisa sembuh dengan terapi ringan dan obat..." suara berat Roy bergetar-getar di telinga kanan wanita itu. Ia paling suka mendengar suara jantung Roy, dengan menempelkan pipi kanannya di dada lelaki itu.
"Ini kan hari senin, ngga sibuk?"
Jenifer menatap Roy menyentuh-nyentuh layar ponselnya, lalu menekan ikon speaker.
Wanita itu mendengar semua percakapan. Besok ia dan Roy akan bertemu dokter Sylvia Detri untuk mengatasi keluhannya.
**
Jenifer melenggang di koridor rumah sakit sendirian. Ia sudah hafal arah dan ruang-ruang yang biasa dilewatinya. Sudah dua bulan ini ia menjadi pasien.Â
Tidak mengapa kali ini ia hanya sendiri. Wanita muda itu berharap Roy berhasil mendapatkan proyek yang dilobikan hari ini. Sedan Altis putih yang baru saja jadi miliknya, tentu cukup menguras kekayaan Roy.
Sesampainya di depan ruang yang dituju, ponselnya justru berbunyi. Dari nada deringnya, Jenifer tahu ini bukan Roy. Dengan rasa penasaran, segera didekatkannya benda itu ke telinga.
Dengan rasa terkejut dan menahan nafas, Jenifer berbalik arah meninggalkan pintu yang belum sempat ia ketuk. Bergegas menuju rumah sakit Dharma Nugraha tempat Susan dilarikan setelah  mengalami tabrak lari.Â