Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wanita Berhati Mulia

6 April 2021   07:11 Diperbarui: 6 April 2021   07:30 788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: cdn.pixabay.com

Ruang kamar ini terasa wangi, dan seakan lebih indah dari biasanya. Tapi lelaki itu semakin menjadi murung. Duduk memaku menekuri lantai.

Fatimah adalah istri yang setia. Bertahun-tahun menemaninya, saat dapur mereka jarang ngebul dan dingin-dingin saja. Bahkan saat mereka mempunyai bayi mungil dan hidup masih belum seenak sekarang.

Lelaki itu sangat beruntung, kata teman-temannya, bisa mendapat jodoh gadis cantik sebagai pertanggung jawaban. Lima belas tahun yang lalu Fatimah tak sengaja menyerempet kakinya. Hanya lecet sedikit, sebenarnya. Tapi keluarga Fatimah bermaksud menyerahkan anaknya untuk dipersunting.

Selanjutnya, lelaki itu mengajak Fatimah tinggal di sebuah rumah kontrakan. Letaknya di pemukiman padat penduduk. Segala gosip dan nyinyiran ada di sana.

Fatimah sebenarnya merasa tak nyaman. Ia ingin suaminya mendapatkan pekerjaan tetap agar mereka bisa segera memiliki rumah.

Delapan tahun lamanya, sampai telinganya menjadi biasa dengan kehidupan di sana. Belakangan malah Fatimah sudah tak lagi merasa risau, meski ia tetap memanjatkan doa untuk segera mempunyai rumah sendiri.

Bangunan semi permanen berukuran dua ratus meter persegi, hanya butuh menjentikkan jari bagi ayahnya. 

Tapi Fatimah berat untuk melakukannya. Ia ingin suaminya mempunyai harga diri di mata siapa saja. Suami adalah imam baginya yang sangat ia hormati. Begitu pula Puput, anak semata wayangnya, selalu ia ajarkan untuk menghormati ayahnya.

Kapan lelaki itu menyadari hal ini? Menyadari kalau istrinya adalah wanita yang luar biasa.

Saat Puput beranjak dari masa kanak-kanaknya, bersiap memasuki sekolah Dasar, lelaki itu malah terpikat wanita lain.

Fatimah sempat menangis, dan memohon agar suaminya mengakhiri perbuatan dosa sekaligus aib keluarga ini.

Direnungkannya, siang dan malam perbuatan lelaki itu. Apakah karena ia kurang merawat diri? Apakah karena ia kurang melayani suaminya? Kurang senyum dan kurang hangat? Lupa menyajikan secangkir kopi saat suaminya pulang dari bekerja, misalnya?

Berbagai pertanyaan memenuhi kepalanya. Sampai sakit juga kepalanya. Ia pun minum obat agar sarafnya enteng.

Perempuan itu bernama Wati. Pernah suatu kali suaminya membawa ke kontrakan mereka. Perempuan itu tidak lebih cantik dari dirinya, tapi konon penyanyi papan atas sebuah kafe malam.

Biar bagaimana, Fatimah berusaha meyakini ini adalah bagian dari takdir Allah swt.

Bukankah setiap rumah tangga pasti diuji terlebih dulu untuk mendapatkan surga?

Hatinya memang perih, karena ia pun wanita biasa yang dapat merasakan sakit.

Tapi Fatimah tak mau berlarut-larut. Ia ingat suaminya sudah cukup baik sebelumnya. Berusaha memenuhi kebutuhan rumah tangga meski sangat kekurangan. 

Ia juga berusaha menanamkan bahwa jika masih berjodoh dengan sang suami, perempuan mana pun tak akan berhasil merebutnya.

Dialihkannya segala kesedihan dengan mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada bunga-bunga di halaman. 

Lelaki itu menatap nanar dari jendela kamarnya. Tampak pohon Kelengkeng yang berbuah rimbun, juga hasil tangan Fatimah. Jambu Kristal, serta beberapa jenis anggrek. Bagaimana kah nasib tanaman-tanaman itu nanti?

Ah, bukan itu sebenarnya. Tapi dirinya dan putri semata wayang mereka, Puput.

Kasihan gadis kecil itu, menangis tersedu-sedu sambil memeluk Fatimah yang masih basah karena baru saja dimandikan. Kini gadis kecil itu tertidur dengan raut muka kelelahan.

"Bang, sudah mau berangkat kerja sekarang?" tanya istrinya tadi pagi.

Fatimah bukan tak tahu, pagi-pagi benar suaminya harus meninggalkan rumah. Jarak dari rumah ke Bank tempatnya bekerja cukup memakan waktu. Belum lagi ditambah macet.

Pekerjaan sebagai security memang tak sehebat staf lainnya, tapi Fatimah bersyukur. Sedikit demi sedikit disisihkannya gaji lelaki itu. Sampai mereka bisa punya tempat tinggal sendiri. 

Lelaki itu sempat tercekat. 

Ia ingat semalam Fatimah memintanya memperbaiki kabel mesin cuci yang tampaknya konslet. 

Sejak lelaki itu dicampakkan wanita selingkuhannya, perlahan ia pun memperbaiki hubungannya dengan Fatimah. Sebisanya ia membantu pekerjaan istrinya. Tapi urusan kabel ia belum sempat, karena ketiduran semalam.

Belum genap setahun, tepatnya, rumah tangga mereka berjalan lebih baik.

Fatimah sudah lama memaafkan, jauh sebelum dirinya kembali. Fatimah begitu bahagia menyambut kehadiran lelaki itu di rumah mereka. Padahal dulu, berhari-hari sampai tak pulang. Kalaupun menampakkan batang hidungnya, untuk mengambil pakaian ganti dan memberikan sedikit uang belanja.

Delapan bulan lamanya, kemelut rumah tangga itu menguji Fatimah. Tubuhnya kurus dan wajahnya tampak menderita. Apalagi ia juga menahan sakit. Fatimah tetap berusaha metutupi dengan tampil tegar di depan putrinya.

Seorang tetangga tiba-tiba menelepon dengan nada tak enak. Lelaki itu melihat jam pada riwayat panggilan. Baru pukul sepuluh. Bahkan belum setengah hari ia bertugas.

"Pak Dani, tolong pulang sekarang ya," tukas suara di seberang.

"Tapi, ada apa Pak?" lelaki itu setengah kaget bercampur bingung.

"Ada yang penting, terjadi di rumah. Saya tunggu sekarang, ya!" telepon dimatikan.

Beruntung ini hari jumat, Bank tak terlalu ramai karena jam pelayanan singkat. Pak Yos terpaksa berjaga sendirian.

Di sepanjang jalan, pikiran lelaki itu tak karuan. Apakah si penipu itu sedang di rumahnya membuat ribut-ribut?

Bulan kemarin, entah bagaimana awalnya, lelaki itu terlibat tawaran bisnis dari teman SMA-nya dulu. Ujung-ujungnya ia malah diperas dan diancam. Jangan-jangan Fatimah sudah meminta bantuan tetangga, karena si Gila itu mengobrak-abrik rumah.

Tiba-tiba lelaki itu merutuki dirinya. Ia merasa pantas dihukum. Ia suami pecundang, tak tau berterima kasih. 

Bukankah Fatimah sudah rela mengorbankan hidupnya demi sebuah rumah tangga bersama dirinya? 

Atau.... 

Tiba-tiba lelaki itu teringat perkataan Fatimah sebelum ia berangkat kerja. Apakah ada sesuatu yang menimpa istrinya? Apakah arus listrik mesin cuci yang konsleting sudah menghilangkan nyawa Fatimah? 

Semakin tak sabar ia ingin lekas sampai di rumah.

Benar saja.

Rumah mereka tampak ramai dengan kehadiran tetangga. Pak RT juga terlihat berdiri di teras melihat ke arahnya datang. Lalu bersiap juga menyambutnya masuk.

Sekilas matanya melihat bendera putih seakan melambai lelaki itu. Bendera penanda duka cita. Tapi siapa yang...

"Pak Dani..." sambut Pak RT dengan wajah serius.

"Pak, ada apa, siapa yang meninggal?"

"Istri saya??"

"Dimana Fatimah??" Jantung lelaki itu seakan lompat dari tempatnya. 

Rasa lelah karena baru saja menempuh perjalanan yang emosional, gaspol selip sana klakson sini terburu-buru dengan pikiran kalut, kini justru anti klimaks.

Lelaki itu tertunduk lagi menekuri lantai. Jenazah istrinya sudah selesai dimandikan dan dikafani. 

Ruang kamarnya terasa wangi dan lebih indah dari biasanya. Seakan ada sinar cahaya putih berpendaran di sana.

Lelaki itu melihat wajah istrinya seperti tersenyum. Tepat seperti hari-hari yang dilalui dengan tabah walaupun ia sakit. Fatimah senantiasa tersenyum. 

Lelaki itu mencium kening istrinya lama, dan hampir saja air matanya jatuh di pipi Fatimah. Segera ia beringsut mundur, bersiap mengangkat tubuh Fatimah masuk keranda. Siap diusung ke masjid. Sebentar lagi sholat jumat dilaksanakan. Sesudahnya Fatimah akan disholatkan.

Ada segunung sesal kini mengganjal dadanya. Lelaki itu tahu Fatimah menderita Leukemia sejak lama. Seharusnya ia mempunyai biaya untuk pengobatan istrinya, kalau saja ia tidak kena tipu si Gila itu. Lagipula wanita berhati mulia itu selalu bersembunyi di balik ketegarannya.

Tiba-tiba Puput yang sudah terbangun, menghambur ke pelukannya. Lelaki itu memeluk bidadari kecilnya dengan hati berkeping.

SELESAI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun