Sudah dua hari, Lily tak mengamen. Bukan karena cuaca hujan yang membuat dia terhalangi, tapi karena cowok itu.
Alan, si bawel itu, komplen juga soal rambut pirangnya yang baru. Padahal dengan susah-payah ia menabung untuk bisa membeli pewarna kualitas baik.
"Ngga akan ada yang kasih kita uang receh lagi, kalau dandananmu mirip bule..."Â
Sesaat Lily memang tertegun. Perkataan  rekan seprofesi-nya ini, ada benarnya juga.Â
Bola matanya yang indah, ditambah sepasang bibir mungil, tak akan membuat orang bersimpati. Tapi yang Lily tak suka, nada bicara yang kasar seolah dia ini adiknya!
Matahari mulai meninggi, saat Lily mengingat semua itu.
Telunjuknya berlarian di layar ponsel, namun pikirannya hilang fokus. Ia sedang mencari lowongan pekerjaan, mengecek DM yang sejak lama dia kirimkan ke beberapa agen foto.Â
*
Malam itu, bulan membulat seperti sedang gembira. Lily melihat cahaya emasnya berjatuhan di atap-atap bangunan. Menimpa bunga mawar yang tumbuh di pelataran loteng. Warna merahnya tampak istimewa.Â
Sekalipun kumuh, rusun yang ditempati gadis gitar, masih dihiasi bunga-bunga juga.