Memang benar, segala sesuatu itu patut dicoba. Jangan menyerah sebelum perang. Apalagi masalah cinta, patut diperjuangkan, kan? Lagipula apa salahnya kalau hanya mencoba berkenalan dan ngobrol. Toh, tempat tinggal kita sebelahan.
Dan sejak saat itu kita mulai kenal. Namamu Amar Fatah, asal dari Banjarmasin. Belum lama datang ke Jakarta, ikut seorang teman yang bekerja di kafe. Sesekali kau mengisi bangku kosong vokalis yang berhalangan. Selebihnya lobi kesana kemari untuk bisa bertahan hidup.
Rasanya tidak salah juga, jika benih-benih cinta mulai tumbuh di hatiku. Aku suka orang yang kuat mental seperti dirimu. Sudah lebih dua tahun di ibu kota, namun tak berniat pulang sebelum dompet terisi (seperti pernah dengar, lagu kan yaa...)
Hidup ini, tempatnya manusia berjuang. Begitu katamu, yang sadar diri untuk tidak jatuh cinta pada setiap gadis yang menarik hatimu.Â
Lalu kemana gadis-gadis itu, apakah kau melupakannya? Dengan sedikit cemburu, pertanyaan ini pernah kuungkapkan padamu, saat kita jalan-jalan sore sekitar komplek.
Kau hanya tersenyum, sambil menikmati bakso yang kita singgahi di pinggir jalan. Sampai saat ini aku penasaran, apa arti senyum tanpa jawaban, yang entah mengapa bagiku terasa penting.
Hampir setahun, kita mengakrabkan diri. Dengan tujuan saling mengenal, dan saling mengukur. Katamu, aku orangnya pencemburu dan cepat salah paham. Tapi mengesankan dan susah untuk dilupakan.
Apa coba, maksud perkataanmu itu? Jadi kau pernah berusaha melupakanku?
Tapi rasanya aku tak perlu berlarut-larut dihantui rasa penasaran, apakah lelaki gitar yang mencuri hatiku, adalah jodohku?
Dan saat hari yang membahagiakan itu tiba, aku selalu bersyukur karena sudah memenangkan cintamu. Â Aku menjadi jodohmu, dan mungkin juga ibu dari anak-anak kita.
Setelah menjadi pasangan suami istri, kau membawaku kepada kehidupan yang baru. Harus kuakui, itu semua di luar dugaanku.