Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Benarkah Lelaki Merasa Kesepian, saat Istrinya Mendahului

21 Februari 2021   21:09 Diperbarui: 22 Februari 2021   05:12 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pic. by Ayra Amirah

Kita diciptakan berpasang-pasangan, untuk saling mengisi. Suami dan istri saling menyayangi dalam perjalanannya. Tersebutlah belahan jiwa, sehidup semati.

Saya belum cukup paham tentang ini. Belum separuh piring, nasi dimakan. Berbeda dengan bapak mertua, dan juga bapak kandung. Sudah kenyang asam dan garam kehidupan dilalui.

Suatu hari, atas amanah suami, saya berbicara dengan bapak mertua melalui telepon. Tidak lama, hanya 1 menit 40 detik.

Entah kenapa, sesudah kalimat pertama yang terdiri dari salam dan pertanyaan apa kabar, butir air mata lekas menggenang di pelupuk mata.

Baru sebaris kalimat pula, bapak mertua nun jauh, menjawab saya. Buru-buru saya menyeka dengan ujung kain jilbab.

Setelah percakapan singkat ditutup, saya membuang nafas. Entah apa yang saya rasakan. Sebuah perasaan sedih, rasa bersalah sekaligus meraba bagaimana kah hari tua saya nanti.

Berminggu-minggu beban ini saya simpan. Tak ada gunanya memberitahu suami. Beliau pasti sudah lebih dulu terluka, dan menahannya di dada selama berbulan-bulan.

Terbayang, bagaimana orang yang sudah lama menanggung bara matahari. Menahan beban berat sejak tubuhnya gagah dan muda, sampai kini menjadi renta. Semua demi menghidupi keluarga. Demi istri dan anak-anak tercinta.

Jauh di kampung halaman, bapak mertua telah kehilangan belahan jiwanya. Yang menemani hampir sepanjang hayat. Hujan dan panas dilalui dengan penuh cinta. Sang istri mendahului.

Tetapi tidak adil, jika menyalahkan pandemi. Tidak pantas, jika merutuk karena tak dapat pulang. Pembatasan sosial berskala besar, mempersulit perjalanan pulang si anak rantau. Anak yang dibanggakan, tak dapat menepuk bahu sang bapak, di saat beliau membutuhkan.

Sebuah alunan lagu berbahasa daerah Makassar, akhir-akhir ini mampir di telinga. Siapa lagi yang saya kenang, hanya bapak mertua. 

Teringat ketika kami berada di sana, bapak mertua senang mengobrol. Tentang rasa bahagia yang bentuknya bisa apa saja.  Tentang menjalani hidup, dengan banyak rasa syukur.

Sebuah perkataan maaf, karena tidak dapat menemani beliau saat ini. Tapi itu tak punya arti apa-apa. Sama sekali tak mengubah keadaan.

Pada malam-malam yang sepi, entah apakah beliau menangis. Terkenang akan mendiang istri yang biasanya duduk menemani. Di teras kamar di atas loteng, sambil bermanja.

Siapakah wanita yang selalu menunggu bapak pulang kerja dengan senyum lebar? Bercanda manja kepada sang suami di usia mereka yang senja. Kasih sayang di antara keduanya yang seakan menasihati saya kala itu.

Para lelaki itu kuat. 

Kisah berikutnya tentang bapak kandung saya. 

Sudah hampir dua tahun melalui hari demi hari tanpa almarhum ibu. Tanpa sentuhan tangan ibu di seluruh sudut rumah. Tanpa sebuah nama yang selalu disebut dan diandalkan.

Kebetulan, saya, adik dan juga bapak tidak tinggal serumah. Bapak  ingin hidup tenang sendirian. Privasi itu sangat penting untuk bapak.

Tapi, apakah yang akan bapak lakukan di saat sedang sendiri? Tidakkah merasa terpukul karena  kepergian ibu?

Setiap saya menginjakkan kaki di rumah bapak, terasa debu-debu yang asing. Dulu, rumah selalu mengkilap karena ibu. Siapa lagi?

Bapak semakin kurus saja. Meski sahabat dan para tetangga setiap saat datang mengunjungi, jelas tak ada yang merawat bapak seperti ibu.

Tapi saya tau bapak tak lagi datang ke makam ibu. Makam itu selalu ditaburi daun-daun kersen yang rindang di atasnya. 

Dulu, saat ibu baru saja dikubur, bapak datang meski jam sebelas malam. Kata bapak, kasihan ibu sendirian. Ibu pasti ingin dikunjungi dan ditemani. Karena dulu ibu selalu takut dengan suasana pekuburan. Maka setiap hari pula bapak datang dan duduk berlama-lama di sana. Sambil urat di keningnya menonjol keluar seperti akar, dan matanya basah.

Semoga hari-hari cepat berlalu, dan matahari tersenyum cerah. Semoga luka itu lekas sembuh, tanpa perlu merobek sepotong hati.

Istri adalah teman perjalanan yang paling setia dan tabah. Jika beliau harus mendahului, sesungguhnya Allah lebih mencintainya.

___________________

Mengenang Ibu dan ibu mertua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun