Dua tahun yang lalu, saya berada di balik gerobak, berjualan es pisang ijo dan es tape ketan hitam buatan suami. Ini adalah pengalaman pertama, dan sangat berkesan.
Tapi kali ini saya bukan bercerita tentang es pisang ijo, melainkan tentang seorang tua yang beberapa kali mampir di gerobak saya. Dia seorang wanita keturunan Cina, yang tampaknya sudah linglung, atau kurang ingat.
Sewaktu masih di kejauhan, wanita yang dipanggil 'Cik' ini, seorang teman sudah memberi kode pada saya.Â
Namanya Amel, istri pemilik warung Padang yang halamannya saya tempati berjualan.
Sejurus kemudian Cik sudah duduk di bangku yang tersedia. Ia membongkar-bongkar tasnya. Baunya menguar menusuk hidung. Banyak botol yang dipulung serta barang bekas lainnya di dalam tas. Rupanya ia mencari gelas plastik sekali pakai untuk diberikan pada saya.Â
Dari genggaman tangannya ia mengeluarkan gumpalan uang yang sebenarnya belum kumal. Ada pecahan lima puluh ribu dan dua puluh ribu. Ada pula uang koin receh.Â
Sambil berbicara dengan bahasa yang tak jelas, mirip orang mengomel, ia mengisyaratkan membeli apa yang saya jual itu. Minta diisikan ke dalam gelasnya dan menyerahkan uang mana yang saya pilih.
Karena tak tega dengan gelas yang kotor, tentu saja saya tak menuruti permintaannya. Saya memberikan gelas baru yang masih bersih serta es tape ketan hitam yang ditunjuknya.
Di luar dugaan, Cik tidak segera berlalu. Ia juga tidak meminum es di tangannya. Dampai bermenit-menit kemudian, bahkan sampai embun di gelasnya meleleh.
Saya merasa tak sabar, juga gemas. Berapa lama lagi wanita linglung ini mengajak saya mengobrol. Khawatir orang lain tak jadi mampir karena terganggu.
Di balik punggung Cik, terlihat Amel cekikikan, lalu memberi kode untuk tak melayani Cik. Usir sajaa... begitu isyaratnya dari jauh.
Saya mulai gelisah. Suami yang biasanya menemani, tak kunjung datang. Saya tak bisa mengusir siapapun karena alasan apapun. Rasanya sungguh tak tega. Saya tidak biasa melakukannya.
Kasian juga Cik. Bukannya paham dengan muka saya yang tentunya sudah berbeda, tetap asyik berceloteh dengan bahasanya yang tidak saya pahami.Â
Akhirnya saya mencoba tenang dan duduk manis kembali. Saya berusaha mendengarkan dan menyimak apa yang ingin dia sampaikan. Sepertinya sebuah cerita keluarga. Antara lain saya menangkap ceritanya bahwa sang menantu jahat dan tak memberinya makan Ia diusir dan dilempar keluar.
Tapi mana boleh saya mempeecayai informasi dari seorang yang hilang ingatan. Saya hanya mengangguk dan tersenyum menyenangkan hatinya.
Akhirnya ia puas bercerita. Mungkin beban hatinya sudah dikeluarkan semua. Akhirnya ia pun pamit. Berjalan meninggalkan saya yang menarik nafas lega.
Saya lihat Cik terseok berjalan sampai di ujung sana. Ia berhenti pada deretan lapak penjual buah. Ia meminum es di tangannya yang sudah mencair dan mungkin tak enak lagi. Ia meminumnya sampai habis. Sampai gelas plastik itu berada di atas wajahnya yang mendongak.
"Mbak..." seru Amel sudah menghampiri saya.
"Besok dia pasti datang lagi."
"Dulu juga dia masuk ke warung kami saat pembeli ramai. Dia malah sempat marah dan mengamuk."
"Aduhh...mengganggu orang makan saja. Untunglah sekarang sudah tak pernah mampir..."
Ah, saya rindu sahabat seperti Amel. Rindu melihat senyum ramahnya dan logat bicaranya yang asyik. Mirip dengan bicaranya Upin-ipin. Mungkin karena ia lama merantau di negeri Jiran. Bahasa Padangnya bercampur kosakata Upin.
Dan benar saja. Dua tiga hari kemudian Cik masih mampir di gerobak jualan saya. Saya tak ingin melayaninya, tapi kasian juga. Ia minta roti tawar dengan susu, yang sedianya untuk campuran es yang saya jual. Bukan sengaja menyediakan menu roti susu.
Kata orang-orang, saya pasti kehilangan pembeli. Mereka sudah tau Cik adalah orang gila. Kotor dan bau. Ia sering berkeliaran di sekitar sini. Karena sebenarnya rumahnya juga tak jauh dari sini.
Iya, dulunya ia cukup berada. Punya sarang walet yang dijaga beberapa orang. Tapi anggota keluarganya ada yang serakah dan selalu berebut harta. Cik jadi stres lalu pergi ke jalan.
Saat pulang ke rumah, Cik dimandikan oleh saudaranya. Karena terkadang ia ngompol di jalan.
Cik dikenakan baju yang bersih. Itu sebabnya pakaian Cik berganti-ganti. Kadang memakai bedak wangi.Â
Yang memberinya uang, juga saudara Cik. Masih ada cincin dan anting emas di jarinya. Sebenarnya ia masih cukup terawat.
Dua tahun sudah berlalu. Kehidupan sudah berputar jauh dan saya sudah tidak berjualan es pisang ijo. Suami sudah mendapatkan pekerjaan awalnya yang sempat krisis.Â
Terkadang saya melewati jalanan tempat saya berjualan dulu. Masih ramai dan terkadang diwarnai macet.
Amel sudah lama pula tidak berada di warung Padang bersama suaminya. Sudah lama ia pulang kampung.Â
Bagaimana dengan Cik?Â
Sudah lama saya tak melihatnya berkeliaran. Terakhir pernah sekali melihatnya berjalan kaki dengan karung rombengnya. Saya tak menyapa karena kendaraan saya terlanjur melaju.
Di hari imlek ini, saat orang-orang ramai dengan perayaan khas tahunan, semoga Cik baik-baik saja. Semoga ia sehat dan bahagia dengan ingatannya. Orang-orang mungkin tak dapat memahaminya. Tapi ia paham akan dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H