Ah, saya rindu sahabat seperti Amel. Rindu melihat senyum ramahnya dan logat bicaranya yang asyik. Mirip dengan bicaranya Upin-ipin. Mungkin karena ia lama merantau di negeri Jiran. Bahasa Padangnya bercampur kosakata Upin.
Dan benar saja. Dua tiga hari kemudian Cik masih mampir di gerobak jualan saya. Saya tak ingin melayaninya, tapi kasian juga. Ia minta roti tawar dengan susu, yang sedianya untuk campuran es yang saya jual. Bukan sengaja menyediakan menu roti susu.
Kata orang-orang, saya pasti kehilangan pembeli. Mereka sudah tau Cik adalah orang gila. Kotor dan bau. Ia sering berkeliaran di sekitar sini. Karena sebenarnya rumahnya juga tak jauh dari sini.
Iya, dulunya ia cukup berada. Punya sarang walet yang dijaga beberapa orang. Tapi anggota keluarganya ada yang serakah dan selalu berebut harta. Cik jadi stres lalu pergi ke jalan.
Saat pulang ke rumah, Cik dimandikan oleh saudaranya. Karena terkadang ia ngompol di jalan.
Cik dikenakan baju yang bersih. Itu sebabnya pakaian Cik berganti-ganti. Kadang memakai bedak wangi.Â
Yang memberinya uang, juga saudara Cik. Masih ada cincin dan anting emas di jarinya. Sebenarnya ia masih cukup terawat.
Dua tahun sudah berlalu. Kehidupan sudah berputar jauh dan saya sudah tidak berjualan es pisang ijo. Suami sudah mendapatkan pekerjaan awalnya yang sempat krisis.Â
Terkadang saya melewati jalanan tempat saya berjualan dulu. Masih ramai dan terkadang diwarnai macet.
Amel sudah lama pula tidak berada di warung Padang bersama suaminya. Sudah lama ia pulang kampung.Â
Bagaimana dengan Cik?Â