Di balik punggung Cik, terlihat Amel cekikikan, lalu memberi kode untuk tak melayani Cik. Usir sajaa... begitu isyaratnya dari jauh.
Saya mulai gelisah. Suami yang biasanya menemani, tak kunjung datang. Saya tak bisa mengusir siapapun karena alasan apapun. Rasanya sungguh tak tega. Saya tidak biasa melakukannya.
Kasian juga Cik. Bukannya paham dengan muka saya yang tentunya sudah berbeda, tetap asyik berceloteh dengan bahasanya yang tidak saya pahami.Â
Akhirnya saya mencoba tenang dan duduk manis kembali. Saya berusaha mendengarkan dan menyimak apa yang ingin dia sampaikan. Sepertinya sebuah cerita keluarga. Antara lain saya menangkap ceritanya bahwa sang menantu jahat dan tak memberinya makan Ia diusir dan dilempar keluar.
Tapi mana boleh saya mempeecayai informasi dari seorang yang hilang ingatan. Saya hanya mengangguk dan tersenyum menyenangkan hatinya.
Akhirnya ia puas bercerita. Mungkin beban hatinya sudah dikeluarkan semua. Akhirnya ia pun pamit. Berjalan meninggalkan saya yang menarik nafas lega.
Saya lihat Cik terseok berjalan sampai di ujung sana. Ia berhenti pada deretan lapak penjual buah. Ia meminum es di tangannya yang sudah mencair dan mungkin tak enak lagi. Ia meminumnya sampai habis. Sampai gelas plastik itu berada di atas wajahnya yang mendongak.
"Mbak..." seru Amel sudah menghampiri saya.
"Besok dia pasti datang lagi."
"Dulu juga dia masuk ke warung kami saat pembeli ramai. Dia malah sempat marah dan mengamuk."
"Aduhh...mengganggu orang makan saja. Untunglah sekarang sudah tak pernah mampir..."