Assalamu alaikum wr wb,
Dear Faridah sahabatku...
Saat engkau membaca surat ini, aku berharap kabarmu telah baik-baik saja. Sudah beberapa waktu berlalu, kemungkinan hujan juga sudah mengurangi curahnya, di sekitar kampung halamanmu.
Memang ada yang terasa berat, di hari keberangkatanmu pagi itu. Tapi aku tak punya alasan logis untuk menghalangimu. Aku hanya sempat menceritakan perihal mimpi di hari sebelumnya. Mungkin berjarak dua tiga hari sebelum engkau menyampaikan pesan Whatsapp, berpamitan  akan melahirkan bayimu di kota yang sama dengan ibunya.
Engkau memang Sahabat yang keras kepala dan susah diajak kompromi. Meski begitu persahabatan kita awet juga yaa... Hahaha...
 Kita bersahabat sejak kita sama-sama duduk di bangku Aliyah dulu. Engkau ikut Acil (tante) Bayah tinggal di Samarinda.
Jika engkau kemudian bertemu jodoh di sini, toh pesta pernikahan dilangsungkan di Banjarmasin, di rumah orang tuamu. Katamu, keluarga besarmu sangat banyak di sana. Sedikit yang merantau ke Samarinda.
Alhasil selama tiga bulan, engkau dan Hairil menikmati bulan madu di rumah orang tuamu. Dengan suasana perkampungan yang Hairil tak begitu paham bahasa dan kebiasaan di sana. Tapi sangat seru katanya.
Hampir dua tahun, setelah kembali ke Samarinda, kalian harus pulang lagi dengan usia kandungan yang tinggal menunggu sedikit waktu. Katamu tak nyaman jika harus melahirkan dan punya bayi mungil tanpa kehadiran mamak. Keberadaan mamak bisa membuatmu tenang dan banyak terbantu. Sementara orang tua Hairil, tak kau andalkan untuk berperan yang sama. Padahal mereka juga sayang padamu. Engkau adalah menantu satu-satunya. Cantik lagi! Hehee...
Kau lupa yaa. Aku juga sering merantau. Yang terakhir, malah mempertemukan dengan suami. Tapi aku tak rajin pulang sepertimu. Aku melahirkan bayi pertamaku di rantau, sebuah kabupaten bernamaTolitoli. Dan justru karena tak mempunyai keluarga di sana, para penduduk justru berempati dan mencurahkan perhatian. Membantu apa saja seakan kepada keluarganya sendiri. Jadi seharusnya engkau tak perlu khawatir. Tak perlu pulang. Tapi engkau memang keras kepala. Susah diajak kompromi.
Dua minggu, setibanya engkau di kampung halaman, engkau pun melahirkan. Selamat yaa, Faridah, engkau telah menjadi seorang ibu dari bayi perempuan yang katamu sangat cantik.Â
Dia pasti seperti ibunya. Berkulit putih, mata coklat dan bibir merah delima. Kebanyakan orang Banjar berkulit putih. Ya, pasti bayi kalian sangat cantik seperti dirimu juga.
Sayang kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Di usia sepuluh hari, bayi mungil yang sempat diberi nama Aisyah itu harus berpulang menemui penciptanya. Akibat cuaca buruk dan curah hujan tinggi. Air tercurah dimana-mana. Dari langit, serta keluar dari dalam tanah.
Tak butuh waktu lama, untuk menyulap perkampungan suku Banjar menjadi bah yang menenggelamkan. Setidaknya itulah yang kudengar.
Tak terbilang harta benda yang mungkin nilainya tak seberapa. Bahkan korban nyawa berjatuhan mengenaskan. Balita dan orang dewasa yang hanyut terbawa arus, atau siapa saja yang terdampak sakit lalu tak bertahan hidup. Salah satunya adalah bayi Aisyah kecintaanmu.
Faridah sahabatku, aku syok juga mendengar berita di tv. Rasanya detik itu aku ingin menemuimu. Tapi dari informasi yang beredar, akses masuk sudah tidak memungkinkan. Siapapun bahkan relawan kesulitan untuk menembus titik bencana. Aku menangis tergugu, membayangkan senyum ceriamu akan berubah beku.
Dengan menyebut nama Allah, aku mencoba bangkit dari kesedihan. Aku berusaha mengumpulkan segenap kekuatan. Aku mengambil wudhu, sholat dua rakaat, lalu berdoa untukmu.
Faridah sahabatku, saat surat ini sampai di tanganmu, percayalah engkau adalah wanita hebat yang terpilih dengan takdir ini. Ayo bangkitlah dari lautan duka. Yakinilah semua yang terjadi, tidak lain untuk memenuhi takdir dan ketentuan Allah swt. Semua terjadi, sudah atas izin Allah. Dan Dia mahamengetahui apa yang terbaik bagi hambaNya.
Tidak ada dukungan lain yang dapat kuberikan, untuk sahabat seperti dirimu, melainkan doa yang sangat tulus yang kupanjatkan. Semoga engkau, suami dan seluruh keluarga senantiasa dalam lindungan Allah swt. Semoga dilimpahi berkah dan hidayah. Diberikan hati yang lapang untuk melewati ini semua. Sesungguhnya kita akan senantiasa diuji, sampai akhir hayat, untuk mendapatkan syurganya Allah. Aamiin.
Sekian surat untukmu. Ketahuilah air mataku menetes sejak tadi untuk menuliskannya. Semoga kita akan segera bertemu, dan aku akan segera memelukmu hangat.
Jaga dirimu di sana, berusahalah untuk selalu tegar dan kuat. Masih banyak yang mencintaimu. Masih banyak hal bermanfaat yang bisa kita lakukan. Jangan pernah berputus asa menerima takdir Allah.
Peluk sayang dari sahabatmu,
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Surat Rindu untuk Sahabat yang Berduka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H