Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sisi Lain Pak Tjiptadinata Effendi di Mata Saya

4 Januari 2021   18:44 Diperbarui: 4 Januari 2021   20:05 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mohon izin menerbitkan artikel dari 150 sahabat Kompasianer

Adalah kejutan bagi saya, saat membaca tulisan Pak Tjipta Effendi pada 1 Januari 2021. Isinya beliau mencari "pengganti" alm. Thamrin Sonata atas rencana mencetak dan menerbitkan buku dengan artikel khusus dari 150 Kompasianer menulis di dalamnya. Saya pun langsung berkomentar di sana.

Foto: screenshoot artikel Pak Tjiptadinata Effendi
Foto: screenshoot artikel Pak Tjiptadinata Effendi

Kesan pertama membaca tulisan Pak Tjip

Saya teringat saat pertama kali menemukan tulisan Pak Tjip beberapa waktu lalu (Refreshing Tidak Perlu Mahal). Saat itu saya sedang googling manfaat refreshing, untuk melengkapi bahan menulis saya, di link ini. Jadi sama sekali bukan, secara sengaja membuka halaman profil Pak Tjip pada akun Kompasiana.

Dengan teliti saya mengamati, tahun kelahiran beliau, usia berapa saat mendapat predikat Kompasianer of the year 2014 yang tertulis pada bio beliau, sementara artikel tersebut terbit tahun 2016. Artinya, enam tahun lalu Pak Tjip sudah sangat aktif mengisi laman Kompasiana.

Dan pada saat saya menemukan artikel tersebut (Desember 2020) Pak Tjip sudah berusia 77 tahun tetapi masih juga aktif menulis. Alhamdulillah dan luar biasa!

Hal sekecil ini menjadi perhatian saya, karena memang seperti itulah sifat saya, senang memperhatikan hal-hal kecil. Tapi dengan itu pula saya dibuat kagum untuk pertama kalinya tentang kiprah beliau pada Kompasiana. 

Foto-foto dalam artikel tersebut sangat mengagumkan saya

Dalam artikel tersebut, khusus menceritakan destinasi wisata pantai berjarak satu jam perjalanan dari rumah mereka menuju ke Kiama Harbour, sebuah kota wisata  yang termahsyur untuk daerah New South Wales.

Ada pula keterangan dalam artikel tersebut yaitu: "Karena kami sudah sarapan dari rumah dan masih merasa cukup kenyang, maka siang itu, kami hanya menikmati secangkir kopi dengan makanan kecil yang kami bawa dari rumah. Instant coffee sebungkus hanya 50 cent. Kalau kami minum kopi dicafe, apalagi dilokasi wisata, minimal secangkir 6 dolar."

"Karena untuk makan kenyang, tiba di rumah dapat terpenuhi. Refreshing tanpa harus memikirkan beban pengeluaran ekstra, tentu lebih nyaman dan sekaligus memotivasi diri untuk lebih sering melakukan penyegaran."

Yang terlintas dalam benak saya waktu itu, Pak Tjip adalah orang kaya yang bepergian jauh untuk mendapatkan manfaat refreshing bersama keluarga, tetapi sangat menekankan budget jangan sampai menghalangi tujuan refreshing itu sendiri. Sangat keren, bukan?

Dan jika Anda bertanya, apa yang membuat saya menganggap Pak Tjip adalah orang kaya pada saat itu? Ialah foto-foto memukau yang tentunya diambil dengan menggunakan kamera khusus, serta teknik foto yang baik. Kedua hal ini tidak akan dimiliki oleh Kompasianer biasa tentunya.

Berikut foto-foto tersebut, saya download langsung dari artikel beliau.

Foto: artikel Tjiptadinata Effendi
Foto: artikel Tjiptadinata Effendi

Foto: artikel Tjiptadinata Effendi
Foto: artikel Tjiptadinata Effendi

Foto: Tjiptadinata Effendi
Foto: Tjiptadinata Effendi

Mbak Ari Budiyanti adalah Kompasianer yang menulis puisi khusus untuk Pak Tjip dan istri

Fakta selanjutnya, Pak Tjip dan istri, Ibu Roselina, mampu menciptakan hubungan yang hangat dalam Kompasiana layaknya sebuah keluarga. Seringkali saya membaca komentar mbak Ari yang menyebut Pak Tjip sebagai ayahanda dan mbak Ari menyebut diri sebagai ananda. Saat itu yang terbersit adalah kagum. 

Foto: screenshoot artikel Ari Budiyanti
Foto: screenshoot artikel Ari Budiyanti

Foto: screenshoot artikel Ari Budiyanti
Foto: screenshoot artikel Ari Budiyanti

Foto: screenshoot artikel Ari Budiyanti
Foto: screenshoot artikel Ari Budiyanti

Sebagai "penghuni baru" di rumah Kompasiana, sekali lagi saya merasa terpukau dengan atmosfer yang ditebarkan kedua tokoh panutan tersebut. Senang sekaligus bangga.

Saya pun mempunyai interaksi dengan Ibu Roselina dalam kolom komentar

Awalnya, saat saya baru saja bergabung dalam Kompasiana, saya tidak menyangka Ibu Roselina adalah istri Pak Tjip.  Artikel mereka berdua senantiasa menghiasi laman Kompasiana pada posisi atas atau nilai tertinggi. Maka saat mendapatkan sapaan Ibu Roselina, tentu saja saya merasa sangat senang.

Namun begitu, pernah juga saya mengingatkan beliau saat salah dalam menulis nama saya. Tentunya tanpa bermaksud tidak sopan, melainkan karena ingin saling mengingatkan.

Foto: screenshoot artikel pribadi
Foto: screenshoot artikel pribadi

Foto: screenshoot artikel pribadi
Foto: screenshoot artikel pribadi

Foto: screenshoot artikel pribadi
Foto: screenshoot artikel pribadi

Secuplik kisah pernikahan mereka, membuat saya terpukau lagi

Akhirnya, sampailah saya pada artikel memperingati ulang tahun pernikahan mereka berdua ke-56 pada 3 Januari 2021. Lagi-lagi saya dibuat terpukau membacanya.

Tidak berbeda dengan kisah orang-orang sukses lainnya, perjalanan dan masa awal pernikahan mereka dilalui dengan perjuangan dan kerja keras. Mulai dari merantau dan berdagang kain keluar kota tetapi berakhir gagal, lalu berjualan kelapa di pasar, sampai akhirnya mempunyai perkebunan cabai di Australia.

Seakan saya mendapatkan pelajaran berharga, bahwa sesuatu yang dimulai dari nol, penuh semangat dan pantang menyerah, akan lebih awet, lebih nikmat dan berkah. Terbukti langgengnya pernikahan keduanya, lengkap dihiasi senyum kebahagiaan. 

Nah, dari sekian fakta yang saya ketahui di atas, patut kiranya kita yang lebih muda mengambil contoh semangat, kerja keras, ketelatenan  keramahan, kehangatan, dan dedikasi beliau dalam menulis. 

Apalah arti lelah karena bekerja seharian, atau usia yang mulai senja, semua itu jangan membatasi ruang gerak kita untuk hidup berarti dan bermanfaat bagi orang lain. Terus bersemangat memberdayakan diri guna membantu dan mewarnai dengan warna-warni cantik dan indah. Kelak segala kebaikan itu akan kembali pada diri kita jua.

Akhir kata, salam bahagia dan sehat selalu untuk Bapak dan Ibu Tjiptadinata Effendi. Semoga Allah meridhoi.

Samarinda 4 Januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun