Ada pula keterangan dalam artikel tersebut yaitu: "Karena kami sudah sarapan dari rumah dan masih merasa cukup kenyang, maka siang itu, kami hanya menikmati secangkir kopi dengan makanan kecil yang kami bawa dari rumah. Instant coffee sebungkus hanya 50 cent. Kalau kami minum kopi dicafe, apalagi dilokasi wisata, minimal secangkir 6 dolar."
"Karena untuk makan kenyang, tiba di rumah dapat terpenuhi. Refreshing tanpa harus memikirkan beban pengeluaran ekstra, tentu lebih nyaman dan sekaligus memotivasi diri untuk lebih sering melakukan penyegaran."
Yang terlintas dalam benak saya waktu itu, Pak Tjip adalah orang kaya yang bepergian jauh untuk mendapatkan manfaat refreshing bersama keluarga, tetapi sangat menekankan budget jangan sampai menghalangi tujuan refreshing itu sendiri. Sangat keren, bukan?
Dan jika Anda bertanya, apa yang membuat saya menganggap Pak Tjip adalah orang kaya pada saat itu? Ialah foto-foto memukau yang tentunya diambil dengan menggunakan kamera khusus, serta teknik foto yang baik. Kedua hal ini tidak akan dimiliki oleh Kompasianer biasa tentunya.
Berikut foto-foto tersebut, saya download langsung dari artikel beliau.
Mbak Ari Budiyanti adalah Kompasianer yang menulis puisi khusus untuk Pak Tjip dan istri
Fakta selanjutnya, Pak Tjip dan istri, Ibu Roselina, mampu menciptakan hubungan yang hangat dalam Kompasiana layaknya sebuah keluarga. Seringkali saya membaca komentar mbak Ari yang menyebut Pak Tjip sebagai ayahanda dan mbak Ari menyebut diri sebagai ananda. Saat itu yang terbersit adalah kagum.Â