Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku Takut Putriku Kecewa

12 November 2020   15:54 Diperbarui: 12 November 2020   17:05 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mempunyai tiga anak, yang semuanya perempuan. Semua nama mereka dimulai dari abjad pertama. Dan setiap mereka mempunyai nama dengan jumlah huruf yang sama banyak, yaitu sepuluh.

Aku mulai menjadi ibu hampir tiga belas tahun yang lalu. Dan hebatnya, baru sekarang aku menyadari sudah lama aku memendam rasa takut.

Aku mungkin terkena hyperthimesia, suatu sindrom senang membuka dan mengingat banyak hal di masa lalu. Tapi sindrom ini baik kok.

Ketakutanku yang pertama adalah aku takut bayiku menangis. 

Saat itu, hampir tiga belas tahun yang lalu,  yang ada dalam pikiranku, bayi menangis artinya ia sedang merasakan sesuatu yang tidak nyaman. Mungkin rasa lapar, haus, atau kedinginan. Karena bayi yang bahagia, pastilah wajahnya tersenyum dengan lucunya.

Ketakutanku yang kedua, aku takut di masa MPASI-nya bayiku tak mempunyai riwayat makanan alami dan sehat dari ibunya. Maka rajin-rajinlah aku bergelut di dapur. Sekitar jam tujuh pagi menu istimewa siap untuk bayiku yang sudah lima bulan. Bubur nasi dengan tambahan kacang hijau, atau tomat, atau wortel dan kentang, atau jagung, atau bayam dan labu, pokoknya sehat dan nikmat. Terbukti setiap isi mangkuknya habis dengan lahap. Lalu aku merasa menjadi ibu yang berhasil. Yes.

Lalu saat bayiku sudah mulai pandai berjalan, mulai eksplor sudut-sudut rumah yang diminatinya, aku takut bayiku terjatuh karena pola langkahnya sendiri. Aku takut dia menumpahkan sesuatu dari atas meja seperti segelas kopi atau semacamnya. Aku takut dia menemukan sesuatu yang membahayakan dirinya seperti gunting ataupun barisan para semut.

Dan ketakutan-ketakutan lainnya, termasuk saat lahir anak keduaku tiga tahun kemudian.

Aku takut si kakak akan mencium adiknya dengan keras. Aku takut si kakak merasa cemburu seandainya aku lebih memperhatikan adiknya yang baru lahir. Aku bahkan merasa bersalah karena melarang si kakak berisik bermain karena adiknya sedang tidur.

Aku menarik nafas sekaligus berusaha membuang beban berat bersama helaan berikutnya.

Aku seorang ibu. Dan aku ingin jadi ibu yang sempurna.

Empat tahun yang lalu, anakku sudah menjadi tiga orang. Saat itu aku sudah bahagia.

Sebenarnya aku bukan tak mengerti, bahwa rasa takut  tersebut adalah cita-cita mulia seorang ibu.

Tetapi setelah mereka tumbuh besar seperti sekarang, rasa takut masih saja menghinggapiku.

Suatu sindrom yang kurasakan ini, bukannya hilang perlahan, melainkan semakin tumbuh.

Aku melihat kemurungan di wajah anak pertamaku. Di usianya memasuki tiga belas tahun.

Aku sudah berusaha mengobrol dan bertanya. Tetapi dua hal ini tak membuatku menemukan akar masalah. Mengapa putri pertamaku tampak murung dan tak bahagia?

Suatu hari aku menemukan sebuah buku dengan catatan-catatan di dalamnya. Bukan buku diary, melainkan hanya buku tulis biasa. 

Aku mulai membaca perlahan. Menyelami isi di dalamnya.

Ternyata isinya lebih banyak tentang keluhan dan kesedihan. Hanya sedikit baris cerita tentang kegembiraan.

Aku mulai mendapatkan bayang-bayang ke arah mana masalah ini bermuara. Mulai menemukan kemurungan apa yang telah menghilangkan senyum anakku belakangan ini. Anak pertama yang sangat kubanggakan.

Ternyata ia tak suka punya adik, apalagi dua orang.

Sebagai kakak ia sering dihadapkan pada tanggung jawab mengayomi, dan itu tidak nyaman untuknya. 

Ia ingin bermanja sepuasnya dengan perhatian kedua orang tua. 

Ia ingin makan es krim kapan saja tanpa takut adiknya ikut-ikutan lalu pilek. 

Ia ingin setiap barang miliknya tak harus dibagi atau dipinjamkan demi adik tak menangis.

Satu hari, dua hari, tiga hari...aku masih terus berpikir.

Aku pun terlahir sebagai sulung dengan satu adik laki-laki. Tapi aku tak pernah merasa dilema apalagi tak suka punya adik.

Aku mengira kelalaianku akhir-akhir ini adalah jam karet makan siang kami, atau durasi panjang kala aku melakukan me time.  Sekedar membaca-baca artikel di layar ponsel. Ah.

Punya dua orang adik itu adalah karunia, nak. Punya saudara kandung itu investasi di masa depan... 

Di saat kau berada di titik nol dan dalam kesusahan, atau di saat seluruh dunia meninggalkanmu, maka adikmu tidak akan meninggalkanmu. 

Adikmu akan selalu siap untukmu 24 jam, nak. Adikmu tidak akan menghianatimu seperti halnya sahabat. Karena darah selalu lebih kental daripada air.

In syaa Allah...

Sekarang, tolong bantu ibu menghilangkan sindrom mengingat masa lalu secara berlebihan. Terlebih karena ibu takut engkau dan adik-adikmu kecewa, menderita.

Ibu ingin sembuh...

* untuk Kompasiana.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun