Empat tahun yang lalu, anakku sudah menjadi tiga orang. Saat itu aku sudah bahagia.
Sebenarnya aku bukan tak mengerti, bahwa rasa takut  tersebut adalah cita-cita mulia seorang ibu.
Tetapi setelah mereka tumbuh besar seperti sekarang, rasa takut masih saja menghinggapiku.
Suatu sindrom yang kurasakan ini, bukannya hilang perlahan, melainkan semakin tumbuh.
Aku melihat kemurungan di wajah anak pertamaku. Di usianya memasuki tiga belas tahun.
Aku sudah berusaha mengobrol dan bertanya. Tetapi dua hal ini tak membuatku menemukan akar masalah. Mengapa putri pertamaku tampak murung dan tak bahagia?
Suatu hari aku menemukan sebuah buku dengan catatan-catatan di dalamnya. Bukan buku diary, melainkan hanya buku tulis biasa.Â
Aku mulai membaca perlahan. Menyelami isi di dalamnya.
Ternyata isinya lebih banyak tentang keluhan dan kesedihan. Hanya sedikit baris cerita tentang kegembiraan.
Aku mulai mendapatkan bayang-bayang ke arah mana masalah ini bermuara. Mulai menemukan kemurungan apa yang telah menghilangkan senyum anakku belakangan ini. Anak pertama yang sangat kubanggakan.
Ternyata ia tak suka punya adik, apalagi dua orang.