Persahabatan sering digambarkan sebagai sesuatu yang indah. Persahabatan juga bisa jadi kenangan jika orang-orang di dalamnya sudah dipisahkan oleh hidup.Â
Tapi perlu engkau tau, aku tidak akan mau persahabatan kita yang dulu engkau jadikan tempat berlindung dari sebuah kesalahan. Apa yang terjadi padamu di luar sana, tolong engkau selesaikan. Apa yang perlu engkau pertanggung-jawabkan, jalani dengan ksatria. Jangan lari dan bersembunyi di sini.Â
Demikian aku menulis pada halaman diary.Â
Aku ingin sekali menyampaikan ini padamu. Tapi nomer  whatsapp-mu telah ku-blokir. Apa iya aku akan membukanya sebentar, mengirimkan sebuah pesan, lalu mem-blokirnya lagi?
Aku merasa sahabat seperti engkau sudah menyusahkanku. Anak-anakku yang belum lagi memasuki remaja, pun menilaimu seperti itu.Â
Rasanya memalukan menjadi dirimu.
Anak-anakku tau, dulu kita bersahabat. Sewaktu kita masih kecil, berlanjut pada zaman sekolah, berlanjut lagi saat kita masing-masing sudah menikah. Kita masih sekali-sekali bertemu dan berbagi cerita. Masih tertawa-tawa bersama dan makan bersama.
Terakhir kita bertemu, sekitar dua bulan yang lalu. Saat itu engkau mengatakan sedang mengalami masalah keuangan. Katamu karena pandemi. Lalu dieler menarik sepeda motor mahal yang baru sebulan kalian nikmati.
Aku terperangah waktu itu.
Sudah tiga kali suami yang engkau banggakan menggonta-ganti motor dengan keluaran terbaru, mengangsurnya tiap bulan sambil merangkak, lalu digadaikan saat kekurangan dana, lalu dijual murah juga, lalu memilih yang baru lagi.Â
Saat itu aku menasihatimu dengan sebuah pertanyaaan: "Mengapa engkau biarkan suami engkau mengambil langkah seperti itu?"
Dengan santai engkau berkilah, "Sebelum covid, kami banyak langganan ojek Bu. Kami yakin bisa bayar cicilan motor..."
Aku pulang, dengan perasaan membatu, tak lama kemudian. Aku kecewa memiliki sahabat seperti engkau.Â
Bagiku engkau sudah menjadi istri yang tak dapat memberi saran baik untuk rumah tangga kalian. Terlalu menurut kepada suami yang sekarang menyusahkan engkau. Lalu untuk yang ketiga kalinya menghubungiku guna meminjam uang.
"Aku tak dapat meminjamkan uang, karena gaji suamiku pun tak besar, engkau kan tau?"
Kataku waktu itu dengan sedikit kecewa karena tak bisa membantu.
Tapi sebulan kemudian, seolah engkau tak paham, lagi-lagi engkau berusaha meminjam uang. Dari ujung telepon bahkan engkau menyebutkan sebuah angka sederhana. Tapi aku menolak membantu karena memang tak bisa. Gaji suami alhamdulillah cukup untuk makan. Selebihnya kami hidup cukup prihatin.
*
Di suatu siang yang panas ketika aku selesai mencuci dan menjemur, kalian berdua dan si bungsu tiba di halaman rumah kami.Â
Suami engkau menerangkan kalian baru dari luar kota dan langsung mampir kemari. Mungkin artinya kalian memutuskan untuk beristirahat sejenak sebelum akhirnya benar-benar sampai di rumah.
Akupun memberi bungsu kalian makan serta membuat teh manis . Menemani ngobrol tanpa tau apa sebenarnya isi hati seorang sahabat seperti engkau.
Semua seperti suatu misteri, saat aku menguhubungkan keterangan satu dengan lainnya.Â
Bahwa kalian berada di luar kota selama empat hari dan tanpa hasil, padahal mempunyai dua saudara di sana. Dan lima saudara lainnya di sini, juga tak ada yang memberikan bantuan.
Seorang teman yang kau kunjungi di ujung jalan ini, pada suatu pagi kita dipertemukan, juga tak dapat membantu.
Separah itu kah, hubungan kalian dengan mereka?
Akhirnya engkau pamit pulang juga, setelah sempat mengabaikan jam pulang kerja suamiku, juga mengabaikan hari sudah beranjak malam.
Tapi itu belum terlalu mengagetkan, ketimbang kedatangan kalian dengan si bungsu, lagi di keesokan pagi.
Sebenarnya aku bukan seorang manusia yang kejam, yang tidak dapat berempati atas kesusahan sahabat sendiri.
Aku juga bukannya keberatan untuk mendengarkan keluh-kesahmu, seandainya engkau mau lebih terbuka.
Terus terang aku merasa ganjil dan tak nyaman, melihat kalian sekeluarga muncul dengan buntelan pakaian dalam kantong plastik. Apakah itu pakaian kotor yang engkau bawa-bawa sejak kemarin dari luar kota?
Apalagi engkau dan suami langsung tidur sampai aku selesai memasak, dengan gejala tak enak badan bla bla bla.
Memang sangat mungkin bila engkau kelelahan serta stres karena tak pernah mendapatkan pinjaman uang.Â
Kalau pun ada sejumlah uang, itu adalah pemberian tulus dari teman sekaligus tetangga depan rumah yang engkau katakan sangat baik hati.
"Apa yang membuat engkau tak ingin bekerja?" tanyaku beberapa waktu yang lalu.
Saat itu aku sedikit kesal karena tawaran pekerjaan agar engkau dapat meminjam sejumlah uang di sana, engkau tolak dengan angkuhnya. Sejak itulah aku memutuskan memblokir satu-satunya akses kita berkomunikasi.
Jadi selama pandemi, suami yang engkau banggakan itu tak pernah bekerja walaupun serabutan demi anak istri?
Dan sebuah foto tentang instalasi listrik  yang perlu diganti baru, terkirim kesana-kemari untuk meminta simpati semua orang, betapa pecundangnya sahabat sepertimu!
Oh ya, lagi-lagi kalian pulang setelah malam gelap dan sepi. Si bungsu yang rewel dan mengantuk, sejak tadi membuat onar di rumah kami.Â
Tapi dengan nada bangga engkau menyampaikan dari sini akan menghadiri acara partai yang memberikan amplop bantuan. Lumayan kalian akan mendapat dua amplop.
Ah, rasanya aku sakit kepala.
Setelah kalian pulang, tentu saja aku dan suami membahas keanehan demi keanehan.Â
Tentang ibu yang tadinya kalian tumpangi selama berumah tangga, sekarang kalian ungsikan ke rumah saudara, bersama anak sulung kalian juga.
Tentang pengakuan suami engkau bahwa motor dari dieler dilaporkan hilang dicuri, padahal di luar kota ia jual murah untuk mendapatkan sepeda motor bekas dan selisih uang.
Fix.
Itulah sebabnya mengapa aku merasa malu mempunyai sahabat seperti engkau. Tampaknya engkau sengaja pulang malam dengan maksud menghindari seseorang yang akan menagih di rumah.
Satu sisi hatiku merasa sedih, tak dapat membantu seperti yang engkau harapkan. Di satu sisi yang lain, kesal karena kalian suami istri tak berupaya mencari pekerjaan apapun dalam situasi mendesak seperti sekarang.Â
Mau meminjam uang, pantas saja tak ada yang meminjamkan. Apalagi kalian berani menawarkan memberi bunga, uang dari mana??
Keesokan harinya, aku terbangun dan langsung teringat kalian, apakah akan datang lagi untuk ketiga kalinya?
Dengan cerita-cerita di masa lalu kalian begitu bergelimang uang dan makanan enak.
Dengan rasa bangga semua itu pernah ada dalam hidup kalian, dan bukannya sadar dengan kesusahan di hari ini adalah isyarat bahwa semua nikmat itu telah Dia ambil kembali. Kalian yang tak pernah bersujud dan berbagi, tenggelam dengan segala foya-foya, lalu kini menyalahkan pandemi.
Engkau adalah sahabat yang pecundang, yang mencela teman kita sendiri, yang berjuang di saat suaminya terpuruk, bekerja apa saja demi kedua anaknya.
"Dia itu hidupnya ngga pernah enak Bu, susah terus. Suaminya ngga kerja, ngga punya keterampilan..." katamu saat itu.
Ah, aku tak ingin membahas lagi sahabat keras kepala seperti dirimu. Engkau sudah banyak berubah.
Satu pesanku, jangan jadikan rumah mungil kami sebagai tempat persembunyian kalian dari kejaran orang di luar sana. Jangan libatkan kami, atas nama persahabatan dan empati. Cukup sudah!
*ditulis untuk Kompasiana.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H