Fix.
Itulah sebabnya mengapa aku merasa malu mempunyai sahabat seperti engkau. Tampaknya engkau sengaja pulang malam dengan maksud menghindari seseorang yang akan menagih di rumah.
Satu sisi hatiku merasa sedih, tak dapat membantu seperti yang engkau harapkan. Di satu sisi yang lain, kesal karena kalian suami istri tak berupaya mencari pekerjaan apapun dalam situasi mendesak seperti sekarang.Â
Mau meminjam uang, pantas saja tak ada yang meminjamkan. Apalagi kalian berani menawarkan memberi bunga, uang dari mana??
Keesokan harinya, aku terbangun dan langsung teringat kalian, apakah akan datang lagi untuk ketiga kalinya?
Dengan cerita-cerita di masa lalu kalian begitu bergelimang uang dan makanan enak.
Dengan rasa bangga semua itu pernah ada dalam hidup kalian, dan bukannya sadar dengan kesusahan di hari ini adalah isyarat bahwa semua nikmat itu telah Dia ambil kembali. Kalian yang tak pernah bersujud dan berbagi, tenggelam dengan segala foya-foya, lalu kini menyalahkan pandemi.
Engkau adalah sahabat yang pecundang, yang mencela teman kita sendiri, yang berjuang di saat suaminya terpuruk, bekerja apa saja demi kedua anaknya.
"Dia itu hidupnya ngga pernah enak Bu, susah terus. Suaminya ngga kerja, ngga punya keterampilan..." katamu saat itu.
Ah, aku tak ingin membahas lagi sahabat keras kepala seperti dirimu. Engkau sudah banyak berubah.
Satu pesanku, jangan jadikan rumah mungil kami sebagai tempat persembunyian kalian dari kejaran orang di luar sana. Jangan libatkan kami, atas nama persahabatan dan empati. Cukup sudah!