Tinggal di pinggir hutan seperti ini, aku terus menggali sisi bahagia yang harusnya kami syukuri. Bukan tentang apa yang tidak kami miliki, tetapi tentang apa yang Allah swt sudah berikan.
Bukankah dua tahun ini kami mulai merasa nyaman?
Bibit pohon buah rambutan Garuda, sirsak madu, jeruk, langsat, nangka, markisa, mangga Kweni, jahe merah, kencur, sereh, lombok, ah... semuanya serasa sebuah karunia.
Awalnya mungkin dipenuhi rasa ragu dan pesimis. Bahkan tak tau harus berbuat apa untuk menciptakan perasaan gembira.Â
Sekelumit rasa enggan dan takut bahkan didramatisir oleh beberapa kali kemunculan anak ular dan ribuan semut lambada.
Tapi syukurlah hewan-hewan yang terlihat berikutnya tak lebih menakutkan. Hanya sebatas biawak liar yang memata-matai ternak ayam kami, serta tupai kecil yang berlarian mencium buah mangga yang baru muncul satu dua.Â
Kami harus berdamai dengan alam. Berdamai dengan kesunyian yang menetap, dan hanya mendengarkan suara hutan.
Suara nyanyian jangkrik di malam hari serta lagu para burung di pagi hari. Suara biji buah kamonji yang dijatuhkan kelelawar di tengah malam di atap rumah pondok kami, serta kokok ayam di kejauhan saat subuh.
Apa yang tidak kami miliki mungkin sangat banyak. Kemewahan, fasilitas, dan entah apa lagi.Â
Tapi semuanya tidak akan selesai bila kami hanya akan merutuk.
Sebuah kebahagiaan tidak akan menghampiri bila kami hanya mengeluh dan merasa kurang.Â