Siti Komariah, terdiam mendengar penjelasanku.
Mungkin gadis muda ini merenung-renung sampai dimana persesuaian kalimatku dengan apa yang dirasakannya selama ini.
Ia memang tak seberuntung santri lainnya di sini. Yang sengaja dikirim orang tuanya untuk menimba ilmu agama.Â
Siti Komariah menjadi santri terlama di sini, yaitu dua belas tahun. Saat mau masuk Sekolah Dasar, ia justru diantar paman dan bibinya dari kampung sampai kemari.
Dengan perasaan campur aduk antara bingung dan terpaksa, dijalani lah hari-hari pertamanya di pesantren. Paling tidak ia senang juga, sudah tidak membebani paman dan bibi yang selama ini sudah merawatnya.Â
Mereka sebenarnya tidak mempunyai hubungan keluarga. Siti Komariah ditemukan pamannya itu di suatu pematang sawah, setelah dibuang orang tuanya, sedikitnya itulah yang dia tau.
Siti Komariah memang sangat berkecil hati dengan sejarah kelahirannya. Ia juga sempat merasa ia bukan bayi yang suci. Selalu menyalahkan ibu bapaknya, yang sebenarnya tak pernah dia ketahui siapa. Hatinya hancur. Ia kerap merasa minder dan tidak ingin bermain bersama teman-temannya kala itu.
Sekarang Siti Komariah perlahan bangkit. Ia bukan kanak-kanak lagi. Ia mulai sadar apa yang diperbuat kedua orang tuanya bukanlah sesuatu hal yang baik. Tetapi ia tetap seorang manusia yang diciptakan dengan jalan hidupnya sendiri. Ia tidak mewarisi dosa kedua orang tuanya.Â
Perlahan ia mampu mengobati rasa kecewanya. Perlahan pula ia bisa berubah menjadi remaja yang ceria seperti pada umumnya. Ia sudah cukup beruntung masih dibiarkan hidup. Masih banyak bayi lain yang dibunuh ataupun dikubur hidup-hidup. Siti Komariah tau dari berita di tv.
Masalahnya, belakangan ia menerima berita dari kampung bahwa ibu biologisnya kini ingin menemuinya. Minggu depan Siti Komariah sudah selesai masa pengabdiannya kepada pesantren, membantu menjadi tenaga pengajar PAUD Pesantren. Dan ia harus pulang.