Bayi kecil itu bahkan tak mempunyai sarung tangan dan kaki. Juga tak mempunyai celana panjang. Hanya sekedar popok kain yang lusuh dan tampak kasar.
Aku segera minta diri, aku tak tahan lagi.
Di rumah, aku segera mengumpulkan beberapa sarung tangan bayi dan beberapa pakaian. Aku juga mencari bahan makanan apa saja dari dapur, untuk kuberikan bersama sedikit uang, dan segera mengantarnya pada ibu Amat.
Aku ini ternyata sangat bodoh. Aku sering mengeluh karena hanya bisa menempati kontrakan kecil tanpa bisa mempunyai rumah sendiri, padahal anak kami sudah dua orang.Â
Kapan lagi kami bisa memiliki sebuah rumah seperti orang lain? Dengan tanaman bunga di halaman dan sebagainya.
Aku juga sering mengeluh bila suami hanya membawa sedikit uang gaji. Terkadang bila cuaca tak mengizinkan, suami tak dapat bekerja dan hariannya menjadi berkurang.
Tapi lihatlah keluarga ibu Amat ini. Kehidupan mereka jauh lebih menderita. Mereka sangatlah kekurangan.
*
Suatu kali aku bertemu lagi dengan ibu amat dan keempat anaknya. Mereka sedang berjalan kaki mengantar si Amat yang sudah kelas tiga Sekolah Dasar. Tampak seorang bayi dalam gendongannya. Sementara tiga anak lainnya berjalan di sekitar ibu mereka.
Ibu Amat melemparkan sebuah senyuman. Aku balas melambai, tak kalah gembira bisa berpapasan dengannya.
Terakhir kami bertemu sebelumnya, secara tak sengaja saat sama-sama belanja sayur-mayur dari kang sayur keliling. Ia menyuruhku mampir ke tempat tinggalnya, tapi aku sedang buru-buru saat itu.