Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wanita Bertubuh Gemuk yang Kukenal

1 November 2020   06:07 Diperbarui: 30 Mei 2021   16:26 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: cdn-2.tstatic.net

Namanya Sofia. Seorang ibu dari anak laki-laki bernama Assadel. Bertemu denganku di pagi yang kelabu. Perutku keroncongan waktu itu dan baru saja aku keluar rumah untuk mencari kue-kue penunda lapar.

Aku menghentikan motorku, karena kulihat ia pun menghadang. 

Dari wajahnya tampak Sofia ingin bicara sesuatu yang serius. Akhirnya kami mencari tempat yang enak untuk melewatkan pagi yang santai saat anak-anak belajar online di rumah.

"Kemarin aku hujan-hujan datang ke rumah neneknya Assadel, menemani dia mengerjakan tugas. Alhamdulillah tugas sudah dikirim..." katanya memulai.

Aku senang melihat gayanya berbicara. Tampak ceria dan penuh semangat.

Usianya baru tiga empat. Jauh di bawahku. Tapi anak pertama kami sama-sama sekelas.

"Aku sempat sampaikan kok, sama wali kelas, bahwa sampean mungkin agak telat karena terkendala hujan dan banjir wilayah sini..." 

"Aku takut anakku nunggu-nunggu, aku takut kalau aku ngga datang Assadel mengira orang tuanya ngga perhatian..." 

Sekilas wajah Sofia berubah keruh. Matanya yang hitam bulat mulai redup sinarnya. Bibir mungilnya yang cantik pun kelihatan manyun.

Sejak bercerai dari Aco, ayah Assadel, temanku ini selalu saja terbebani dengan perasaan hati anak semata wayangnya yang selalu ia pikirkan. Memakai istilah Sofia, anaknya adalah korban orang tua. Sehingga menumbuhlah berbagai rasa bersalah di hatinya.

"Jangan sampai Assadel merasa ayahnya meninggalkan dan ibunya tak memperhatikan. Walaupun aku harus setiap hari datang ke rumah neneknya untuk menemani belajar, panas, hujan, ngga enak badan, aku ngga perduli. Yang penting anakku jangan sampai terluka hatinya..."

Seperti dugaanku, ia sangat memikirkan anak yang juga gemuk dan manis seperti dirinya. Apalagi dari suami barunya, Sofia belum mendapatkan seorang anak pun walau sudah menunggu dua tahun.

"Kadang juga aku ketemu dengan ayahnya Assadel di sini," katanya sambil menunjuk ke arah komplek perumahan.

"Kenapa kalau ketemu, sampean ngga enak?" aku mencoba menebak yang dia maksudkan.

"Iya laah mama Naya..."

"Kan sudah cerai, aku males kalau ketemu-ketemu lagi. Tapi yaa... dia pas datang nemui orang tuanya dan anaknya. Wajar aja kan? Tapi aku yang ngga senang..."

Sekali lagi wajah Sofia berubah keruh. 

Ia tampak tak terawat memang. Wajahnya tampak dipenuhi sel kulit mati yang seharusnya dipeel seminggu sekali. Baju yang dia gunakan juga terlalu biasa. Harusnya bisa lebih rapi dan pantas. Mungkin dipikirnya, sudah setiap hari datang dan hanya untuk bertemu anaknya. Simple pun cukuplah. 

"Sampean benci ya, sama ayahnya Assadel. Tapi mereka nikahnya setelah kalian bercerai kan?" tanyaku penasaran. 

Sofia meneguk minumannya, sebelum menjawab. Tampak sebentuk benci dan marah dari gayanya bersungut-sungut.

Peristiwa ini sudah lama berlalu. Sofia cukup terbuka untuk menceritakannya denganku yang baru dekat dengannya saat anak kami sekolah online. Tapi ceritanya beberapa waktu yang lalu, belumlah lengkap. Sepertinya hari ini dia akan menuntaskan.

"Justru itu, waktu kami masih berumah tangga dan Assadel baru berumur sembilan tahun, ayahnya sudah nikah siri dengan perempuan itu diam-diam..."

Aku mencoba senyum, berharap ia terhibur dan beban kebencian yang dibawanya sedikit berkurang. 

"Itu bukan yang pertama, mama Naya. Sudah sering. Dulu juga pernah ngga pulang empat bulan lamanya. Aku sampai stres, sampai kurus. Sekarang aja aku gemuk..."

"Namanya pekerjaannya supir, sering keluar kota, ngga di rumah. Kecantol aja dimana-mana..."

"Aaahh...bukan karena 'supir' nya, tapi ya memang begitulah kehidupan. Begitulah sebagian laki-laki..." kataku.

"Iya yaa..." senyumnya merekah, seolah baru sadar nasib sepahit ini bukan ia satu-satunya yang mengalami.

"Sudah...ngga usah diingat-ingat lagi. Anggap saja laki-laki punya takdir untuk jadi ayah dari anak yang beda-beda. Kelak sampean dan ayahnya Assadel sudah ngga ada, anak-anak itu tumbuh dewasa dan menjadi saudara. Mungkin saling akur dan saling membantu. Lalu kemana perasaan sakit hati istri yang pertama? Ngga ada. Begitulah kehidupan. Ngga seperti yang kita mau dan bayangkan. Semua bebas berbuat, nanti bertanggung jawab di akhirat..."

Sofia mengangguk-angguk sambil senyum. Manis sekali.

"Anggaplah jodoh kalian sampai di sini, sampean ngga beruntung karena suaminya begini. Tapi sampean mesti bersyukur, neneknya Assadel masih sayang seperti dulu. Menganggap sampean anaknya. Hubungannya mesra. Banyak lho, yang suaminya masih baik dan masih sayang, tapi hubungan dengan ipar atau mertuanya dingin..." kataku panjang lebar. 

Aku mulai mengusap-usap perut yang bernyanyi lagi. Tapi masih betah mendengarkan Sofia bercerita.

"Assadel itu, diajak ayahnya bermalam di rumah ibu tirinya, ngga mau. Sampai-sampai ayahnya kecewa. Baru dia tau anaknya sebenci ini..."

"Oya? Apakah ibu tirinya ngga pernah berusaha mengambil hati anakmu?"

Wanita gemuk di depanku cepat menggeleng. "Mana pernah..."

"Kalau lebaran, belikan pakaian untuk anakmu?" kataku mencontohkan.

"Ibu tirinya itu jahat, mama Naya..."

"Aku pernah dimassanger kata-kata kasar dan menghina. Dia iri karena neneknya Assadel masih baik dan sayang sama aku. Begitu mana mungkin kepikiran beli baju untuk anakku..."

"Sampai suatsuatu hari, nenek Assadel jatuh sakit dan kubawa ke rumah sakit. Kutemani sepanjang hari selama seminggu. Aku bolak-balik mengurus semua keperluan sendiri, ngga ada ayah Assadel maupun adiknya. Entah mereka hilang kemana."

"Sesudah keluar dari rumah sakit, bayi maduku itu mau dibuatkan acara selametan di rumah neneknya Assadel. Acara aqiqah. Aku dititipi sejumlah uang, disuruh mantan mertuaku itu belanja, tapi yang masak kan rame-rame dengan tetangga."

"Akhirnya sesudah acara dan tamu-tamu pulang, maduku itu menghampiri aku dan berterima kasih karena sudah tau bahwa aku yang membantu mereka. Maduku juga minta maaf sudah pernah merusak rumah tanggaku. Dia pun memeluk aku..."

Kutemukan setitik kesedihan di sudut mata Sofia. Suaranya lirih dan wajahnya dibuat tegar. 

Memang masa-masa sulit seperti itu sangat menguras emosi. Sanggup membuat korbannya frustasi, bahkan nekad bunuh diri. 

Ketika seseorang yang dikatakan "lebih" datang dan menjadi iblis dalam mahligai rumah tangga yang penuh cerita manis sebelumnya. Lalu seorang istri yang menemani dari nol keberhasilan suaminya, mendadak dikatakan terlalu bawel, pencemburu, dingin, ngga pintar masak, ngga pintar ngurus anak, entah tuduhan apa lagi.

Bukannya saling menutupi kekurangan dan saling bekerja sama agar rumah tangga berjalan harmonis. Bukannya memberi pencerahan dan penghiburan pada sang istri. Malah main tinggal.

Saat seorang suami sudah meningkat finansialnya dan anak-anak mereka sudah mulai besar, seorang suami ddengan gampangnya mencampakkan istri yang menemaninya berjuang dari awal, bahkan yang dipuja-pujanya sebelum pernikahan. Setidaknya inilah yang dialami Sofia, seperti penuturannya.

Aku menyentuh bahu gemuknya, menularkan sedikit kekuatan yang mungkin bisa diterimanya.

"Sudahlah, sekarang sampean senang-senang saja hatinya. Kita dampingi anak-anak kita belajar selama pandemi, sekurang-kurangnya sebelum sekolah aktif lagi. Masalah yang sudah lewat, anggap mendewasakan kita di hari ini."

"Mulai sekarang sampean sudah boleh membangun pola pikir Assadel, bagaimana seorang laki-laki harusnya. Jangan membuat dia membenci ayahnya. Ini yang akan membuat Assadel terluka jiwanya."

"Katakan pada anak sampean bahwa kelak dia akan jadi seorang suami juga. Jadilah seorang suami yang lebih baik dari ayah yang dia kenal."

"Didiklah dia dengan penuh kasih sayang. Jangan sampai dia tumbuh menjadi pribadi yang dendam dan kasar. Kelak akan berbuat kasar juga pada istri dan anaknya."

"Tetapi katakan bahwa kelak sampean akan menjadi TUA, dan Assadel yang akan menjaga dan merawat sampean. Ambil hatinya dengan kata-kata yang lembut. Jangan suka meneriakinya seperti yang sampean lakukan sebelumnya."

Sofia tersipu dan tertawa. Bahunya sedikit terguncang.

"Aku suka ngga sabar kalau mengajari dia belajar, apalagi matematika. Aku suka gemeesss..."

Aku menghabiskan sisa minumanku sambil senyum sendiri. Ingat aku pun pernah seperti itu pada Naya.

"Aku pamit dulu yaa, kapan-kapan ngobrol lagi..." kataku demi menyadari matahari mulai menghangat. 

Kulihat di langit tak lagi kelabu.

Aku harus segera menemukan makanan apapun sebelum perutku bernyanyi seriosa, lalu aku harus pula mencuci pakaian di hari yang tampak mulai cerah ini.

Hujan tiga hari berturut-turut telah menahan agenda mencuci para emak. Tapi tidak untuk hari ini.

"Terima kasih yaa, sudah mendengarkan aku dan memberiku semangat, " ia menempelkan pipinya yang chubby di kiri dan kanan pipiku. 

Senyumnya tampak begitu lepas dan cantik. Alhamdulillah.

*pernah tayang di SECANGKIR KOPI BERSAMA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun