"Jangan sampai Assadel merasa ayahnya meninggalkan dan ibunya tak memperhatikan. Walaupun aku harus setiap hari datang ke rumah neneknya untuk menemani belajar, panas, hujan, ngga enak badan, aku ngga perduli. Yang penting anakku jangan sampai terluka hatinya..."
Seperti dugaanku, ia sangat memikirkan anak yang juga gemuk dan manis seperti dirinya. Apalagi dari suami barunya, Sofia belum mendapatkan seorang anak pun walau sudah menunggu dua tahun.
"Kadang juga aku ketemu dengan ayahnya Assadel di sini," katanya sambil menunjuk ke arah komplek perumahan.
"Kenapa kalau ketemu, sampean ngga enak?" aku mencoba menebak yang dia maksudkan.
"Iya laah mama Naya..."
"Kan sudah cerai, aku males kalau ketemu-ketemu lagi. Tapi yaa... dia pas datang nemui orang tuanya dan anaknya. Wajar aja kan? Tapi aku yang ngga senang..."
Sekali lagi wajah Sofia berubah keruh.Â
Ia tampak tak terawat memang. Wajahnya tampak dipenuhi sel kulit mati yang seharusnya dipeel seminggu sekali. Baju yang dia gunakan juga terlalu biasa. Harusnya bisa lebih rapi dan pantas. Mungkin dipikirnya, sudah setiap hari datang dan hanya untuk bertemu anaknya. Simple pun cukuplah.Â
"Sampean benci ya, sama ayahnya Assadel. Tapi mereka nikahnya setelah kalian bercerai kan?" tanyaku penasaran.Â
Sofia meneguk minumannya, sebelum menjawab. Tampak sebentuk benci dan marah dari gayanya bersungut-sungut.
Peristiwa ini sudah lama berlalu. Sofia cukup terbuka untuk menceritakannya denganku yang baru dekat dengannya saat anak kami sekolah online. Tapi ceritanya beberapa waktu yang lalu, belumlah lengkap. Sepertinya hari ini dia akan menuntaskan.