Bukannya saling menutupi kekurangan dan saling bekerja sama agar rumah tangga berjalan harmonis. Bukannya memberi pencerahan dan penghiburan pada sang istri. Malah main tinggal.
Saat seorang suami sudah meningkat finansialnya dan anak-anak mereka sudah mulai besar, seorang suami ddengan gampangnya mencampakkan istri yang menemaninya berjuang dari awal, bahkan yang dipuja-pujanya sebelum pernikahan. Setidaknya inilah yang dialami Sofia, seperti penuturannya.
Aku menyentuh bahu gemuknya, menularkan sedikit kekuatan yang mungkin bisa diterimanya.
"Sudahlah, sekarang sampean senang-senang saja hatinya. Kita dampingi anak-anak kita belajar selama pandemi, sekurang-kurangnya sebelum sekolah aktif lagi. Masalah yang sudah lewat, anggap mendewasakan kita di hari ini."
"Mulai sekarang sampean sudah boleh membangun pola pikir Assadel, bagaimana seorang laki-laki harusnya. Jangan membuat dia membenci ayahnya. Ini yang akan membuat Assadel terluka jiwanya."
"Katakan pada anak sampean bahwa kelak dia akan jadi seorang suami juga. Jadilah seorang suami yang lebih baik dari ayah yang dia kenal."
"Didiklah dia dengan penuh kasih sayang. Jangan sampai dia tumbuh menjadi pribadi yang dendam dan kasar. Kelak akan berbuat kasar juga pada istri dan anaknya."
"Tetapi katakan bahwa kelak sampean akan menjadi TUA, dan Assadel yang akan menjaga dan merawat sampean. Ambil hatinya dengan kata-kata yang lembut. Jangan suka meneriakinya seperti yang sampean lakukan sebelumnya."
Sofia tersipu dan tertawa. Bahunya sedikit terguncang.
"Aku suka ngga sabar kalau mengajari dia belajar, apalagi matematika. Aku suka gemeesss..."
Aku menghabiskan sisa minumanku sambil senyum sendiri. Ingat aku pun pernah seperti itu pada Naya.