Masalah pengelolaan lobster kembali  mengemuka. Kali ini nelayan dan pembudidaya lobster protes atas adanya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp) dan Rajungan(Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia.
Melalui beberapa media sosial (24/10/ 2021) diketahui,  bahwa aksi unjuk rasa muncul dibeberapa daerah, antara lain Nusa Tenggara Barat, Probolinggo  dan Sukabumi .
Menurutnya, aturan tersebut tidak berpihak dan merugikan mereka. Akibatnya nilai jual lobster hasil budidaya mengalami penurunan yang signifikan. Sekarang harga lobster tinggal sepertiga dari harga sebelum adanya aturan tersebut. Hal ini karena tidak bisa menjual lobster lintas provinsi.
Selain itu benih bening lobster (BBL) hasil tangkapan nelayan sulit dipasarkan karena tempat pemasaran BBL, yaitu usaha budidaya lobster tidak berkembang. Nelayan menuntut ekspor BBL kembali dibuka agar BBL mudah dipasarkan dengan harga relatif baik. Aturan ini dianggap tidak memberikan hasil positif, padahal sudah berlaku sekitar enam bulan
Pernyataan sikap tersebut merupakan dukungan atas upaya Judicial Review (JR) atau hak uji materi terhadap Permen KP no 17 tahun 2021 tentang larangan eksport BBL oleh pelaku usaha perikanan ke  Mahkamah Agung (MA) (SUKABUMIUPDATE.com, 24/10/ 2021).
Kebijakan Menteri KP membuat pengusaha perikanan dan nelayan kecil terombang-ambing. Sebab mereka telah melakukan investasi dan mengurus izin penangkapan, penangkaran dan ekspor BBL dengan biaya tak sedikit.
TEMPO.CO (18/10/ 2021) mewartakan, bahwa pengacara Yusril Ihza Mahendra  bertindak sebagai kuasa hukum PT. Kreasi Bahari Mandiri dan lima orang WNI,  mengajukan permohonan uji materi Pasal 18 ayat (1) dan (2) juncto Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 soal larangan ekspor BBL. Pemohon minta MA membatalkan larangan ekspor BBL yang tertuang dalam aturan itu.
Katanya, Menteri Kelautan dan Perikanan tidak berwenang melarang ekspor barang dan jasa, meskipun itu benih lobster sebab dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021, Presiden Joko Widodo mendelegasikan kewenangan kepada Menteri Perdagangan untuk mengatur lebih lanjut jenis barang dan jasa yang boleh diekspor dan diimpor.
Menurut Yusril Ihza Mahendra, Menteri KP bertindak di luar kewenangan dengan membuat aturan yang melarang ekspor benur sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Larangan ekspor benih lobster juga bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya serta UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan.
Lobster bukanlah binatang langka dan terancam punah yang dilindungi seperti yang diatur dalam Pasal 21 ayat (2) UU Konservasi. Oleh karenanya  tidak bisa dilakukan pelarangan ekspor benur.
Tentu KKP sangat hati-hati dalam meluncurkan kebijakan, seperti kebijakan pengelolaan lobster pasca terungkapnya kasus suap Menteri KP Eddy Prabowo.
Dalam SUMUTkota.com (20/10/2021), penghentian ekspor benur (BBL) telah melalui kajian ilmiah demi terjaganya keberadaan BBL sebagai plasma nutfah. Eksploitasi BBL tidak untuk ekspor yang menguntungkan negara lain, seperti Vietnam. Namun dikembangkan sendiri oleh nelayan dan pembudidaya sehingga kebijakan penghentian ekspor BBL diikuti dengan solusi bagaimana menghidupkan usaha budidaya lobster dalam negeri.
Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan banyak aspek, terutama demi kepentingan nasional dan kesejahteraan nelayan, termasuk nelayan BBL.
KKP menghargai upaya hukum tersebut sebagai hak konstitusional setiap warga negara. Adapun penangkapan BBL untuk kepentingan budidaya lobster dalam negeri dibatasi dengan tujuan agar bisa dilakukan pembesaran hingga ukuran 5 gram. Kemudian dibesarkan lagi sampai ukuran konsumsi minimum 150 gram.
Oleh karenanya  KKP mendorong upaya budidaya lobster dan mencegah segala upaya penyelundupan ke luar negeri semaksimal mungkin dibantu aparat penegak hukum. Berharap nantinya  bisa merebut pasar utama lobster dunia.
Selanjutnya melalui warta RMOLJATENG (1/12/ 2021), hasil sidang putusan JR UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 Â yang diajukan Serikat Buruh, telah dibacakan Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat.Â
Pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan, kamis (25/11/2021).
Pemerintah diberi kesempatan untuk memperbaiki selama 2 tahun, jika dalam 2 tahun pemerintah-DPR tidak memperbaikinya, Â maka secara otomatis UU Ciptaker tidak berlaku secara permanen (Dr. Agus Riewanto, pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret Surakarta).
Apakah putusan MK tersebut akan mempengaruhi hasil sidang JR Permen KP Nomor 17 Tahun 2021. Â
Apapun putusan  MA nanti, apakah menyatakan menolak permohonan JR atau mengabulkan permohonan tersebut. Maka seyogyanya semua pihak menghormati dan segera menindaklanjuti. Sebab putusan tersebut telah dipertimbangkan dengan sangat teliti, baik dan cermat.
Sementara itu nelayan dan pembudidaya lobster harus tetap menggerakan usahanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Padahal musim ikan saat ini kurang bisa diprediksi akibat perubahan iklim secara global. Dibanyak daerah terjadi gelombang tinggi dan angin kencang. Dampaknya ikan menjadi langka dan hasil tangkapan ikan relatif menurun.
Berharap kebijakan pengelolaan lobster benar-benar dapat diterapkan dengan baik dan memberikan dampak positif  terhadap pelaku usaha perikanan, seperti nelayan dan pembudidaya lobster, juga bagi kelestarian biota tersebut.
Keterangan Gambar : BBL atau benur hasil tangkapan nelayan PalabuhanratuÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H