Mohon tunggu...
Ayu Bejoo
Ayu Bejoo Mohon Tunggu... Jurnalis - Moody Writer

Moody Writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Apakah Kamu Tahu Indomie Adalah Teman Terbaik Manusia?

11 September 2022   23:23 Diperbarui: 11 September 2022   23:33 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama ini aku selalu bertanya-tanya, apakah tiap-tiap pasangan merupakan reinkarnasi dari Nabi Adam dan Ibu Hawa? Apakah tiap-tiap pasangan memang ditakdirkan Tuhan untuk selalu bertemu dan dipersatukan? Sulit untuk menjawabnya karena pertama, aku bukan Tuhan, dan kedua jika memang iya, lantas mengapa kedua orang tuaku berpisah? Mungkin sebaiknya tidak usah kupikirkan, aku berkata kepada diri sendiri sambil menyeruput kuah indomie.


Sekarang sudah jam dua dini hari, tetapi bagi anak muda sepertiku, sulit untuk tidur di bawah jam dua belas malam, karena selalu saja pikiran-pikiran yang meracau akan menjadi awan-awan kamar, penuh, dan berbicara mengenai banyak hal, sesuatu yang sudah terlupakan akan hadir kembali, menghantui diri yang tidak berdaya ini sampai bangkit kembali, merangkak keluar dari tempat tidur, dan sempoyongan berjalan ke dapur, menyalakan kompor, dan mengambil sebungkus indomie serta sebutir telur, untuk kemudian direbus dengan lima cabai rawit yang harganya kian hari kian meninggi.


Tinggal dan menetap di suatu tempat bukanlah hal yang mudah jika dilakukan sendirian. Aku bukanlah pribadi yang pandai bersosialisasi, memutuskan untuk kuliah di perantauan memang keputusan yang tidak masuk akal, terlebih dengan keadaan psikologis yang, sudahlah sebaiknya kita lupakan. Karena toh pada akhirnya aku bisa sampai di sini, menjalankan tiga tahunku dengan tenang.


Namanya Reza Rahman, aku bertemu dengannya ketika kami sama-sama menghadiri pertemuan Addiction, para penggemar Bu Suri, salah satu penulis terkenal di kota kami, sama-sama jatuh cinta dengan karya yang sama, dan memiliki ketertarikan pada buku dan kata-kata, kami menjadi dekat. Persatuan dua orang asing tanpa pertanyaan, apa yang kau pikirkan hari ini?.


Keterlibatan Mas Reza dalam kehidupanku sungguh drastis, membuat aku berpikir bahwa benar, perasaan-perasaan yang kutahan selama ini mungkin saja obat dari masa lalu yang hilang, aku menjadi seseorang yang semakin tenang dan senang. Berbagi pikiran dari dua kepala yang berbeda untuk dijadikan satu kesimpulan adalah hal yang menyenangkan. Kami semakin sering melakukan perjalanan kecil untuk sekadar riset pada tulisan yang telah kami baca.


Pernah suatu ketika kami membeli indomie berbagai rasa, memasaknya dengan cara yang sama, kemudian memasaknya lagi dengan cara yang berbeda. Benar, rasanya tetap utuh dan mengenyangkan. Haha. Kejadian itu bermula tepat setelah kami membaca buku, Apakah Kamu Tahu Indomie Adalah Teman Terbaik Manusia, sebuah buku yang kami temukan saat berkunjung ke perpustakaan tengah kota, menarik sekali isinya, membuat kami berdua tertawa sejadinya, kau tahu apa katanya? Jika kamu memasak satu indomie mi goreng soto dengan cara yang biasa kamu masak, lalu kamu mencoba dengan cara yang baru, ternyata rasanya tidak lagi menjadi soto, melainkan koto (menggendong dan menyanyikan bayi selama 40 tahun). Itu adalah salah satu buku anekdot yang menyenangkan untuk dibaca, terlebih mengupas makanan yang kami suka. Haha.


Perjalanan terakhir yang kami lakukan untuk riset adalah yang paling mengesankan, untuk pertama kalinya kami berbeda pandangan, Mas Reza bersikeukeuh bahwa kami tidak seharusnya melakukan sesuatu yang berbahaya, seperti mendaki gunung? Aku tahu ini ide gila, tapi aku sangat ingin melihat dan merasakan sendiri apa yang aku baca, toh nantinya ini akan menjadi pengalaman yang berharga, kataku berusaha meyakinkan dirinya.


Kau tahu buku apa yang baru saja kami baca? Ini adalah salah satu buku yang ditulis oleh Bu Suri, penulis yang menyatukan kami. Aroma Karsa judulnya, sebuah novel fantasi yang membuat aku sangat ingin melakukan riset secepatnya. Sehari setelah membaca buku itu, aku langsung mengajak Mas Reza ke Bantar Gebang, kami melakukan perjalanan yang cukup panjang, menggunakan kereta api, menyusuri kota demi kota demi sampah?. Tidak, itu bukan sekadar sampah, tapi gunung sampah setinggi 50 meter di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu, yang kian hari menimbulkan dampak langsung terhadap warga sekitar, masalah air bersih yang semakin langka, juga polusi udara.


Mas Reza tidak tahan berlama-lama sehingga kami segera pergi. Dalam waktu seminggu, Mas Reza tidak menghubungiku.

"Jangan lupa Mas, kita ini bukan filsuf, bukan ahli kalam, fakih, muhaddis, apalagi mufasir. Tapi kita adalah pemikir independen yang menempuh jalur intuisi untuk menemukan kebenaran cinta".

Bunyi pesan Whatsapp yang kukirimkan padanya.

Riset yang kami lakukan memang bukan untuk membuktikan kebenaran cerita, melainkan merasakan sensasi yang sama terhadap bacaan yang kami baca. Untuk itu, setelah berbaikan, aku langsung mengatakan kepada Mas Reza bahwa kita akan mendaki ke gunung Lawu, secepatnya.

Sebelumnya kami tidak pernah mendaki gunung, olahraga yang kami lakukan mungkin hanya jalan santai pada minggu pagi dengan niat membeli pentol, sebutan untuk jajanan tradisional serupa bakso yang memiliki kandungan daging lebih sedikit. Mungkin juga tiga bulan sekali bersepeda, kami lebih suka duduk-duduk di taman sambil membaca buku dan bercerita.


Mungkin terdengar agak memaksa, tapi Mas Reza benar-benar mempersiapkan segalanya. Ia meminjam tenda kepada temannya, aku membeli indomie sebanyak-banyaknya, karena yang kudengar, anak gunung itu selalu membawa indomie ketika mendaki.


Lokasi Gunung Lawu terletak di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, gunung yang menyimpan banyak pesona alam yang mengagumkan, namun juga dipenuhi mitos dan misteri yang mengerikan. Rasanya salah, ketika kami mendaki tidak melewati jalur yang sudah ditentukan, Mas Reza tampak ragu tapi sangat meyakinkan, aku menjadi percaya diri meski tadi ramai sekali pendaki di belakang yang kian lama kian menghilang.


Mungkin benar sebuah pernyataan bahwa kita-lah cermin yang paling nyata dari ruh yang telah mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun