Bulan Oktober ini merupakan bulan yang paling meninggalkan kesan mendalam bagi keluarga ku, khususnya aku. Bulan ini bulan kelahiranku dan di bulan ini aku harus menerima bahwa empat Anggota keluarga ku terinfeksi virus SARS-Cov-2 dan menjadi pasien Covid-19.
Tulisan ini akan terbagi menjadi 2 part, yaitu part-1 tentang anakku yang menjadi pasien Covid-19, dan part-2 tentang orangtua dan adikku. Pada kedua tulisan tersebut aku akan berbagi kisah tentang perjuangan kami dan lingkungan sekitar rumah kami dalam menghadapi Covid-19.
***
Pendeteksian Covid-19 dengan SWAB
Kami sekeluarga (suami, aku, 2 anak laki laki) melakukan swab pada tanggal 4 Oktober 2020 dikarenakan kami pernah berinteraksi dengan adik dan kedua orang tua ku yang dinyatakan positif Covid-19 pada tanggal 30 September dan 2 Oktober 2020.
Namun hasil SWAB menyatakan bahwa anak kedua ku positif Covid-19.
Sebetulnya masih banyak masyarakat yang takut dengan pemeriksaan SWAB, entah takut dengan hasil yang keluar atau takut dengan proses pengambilan sampel nya.
Padahal ngga terlalu sakit bagi yang sudah melewati masa balita, karena anak kedua malah senang dengan proses pemeriksaan.
Menurutku sendiri proses pengambilan sampel rasanya seperti telinga saat dibersihkan dengan pembersih kuping (cotton bud).
Saat proses pemeriksaan, petugas hanya membawa sebuah tabung dan dua alat seperti cotton bud namun bergagang panjang, karena sampel akan diambil dari dua wilayah yaitu mulut dan hidung.
Dan saat pengambilan sampel petugas hanya menginstruksikan untuk membuka mulut dan mengeluarkan suara A agar petugas dapat mengambil sampel. Untuk daerah hidung, petugas hanya menginstruksikan kita untuk menahan nafas beberapa menit.
Taddaaa..... sampel pun didapatkan. Setelah sampel diperoleh, kedua cotton bud tersebut dimasukka ke dalam tabung yang telah diberi nama kita.
Tahap selanjutnya bagi petugas adalah memeriksa sampel tersebut dengan menggunakan teknik Real-Time PCR (RT-PCR atau qRT-PCR). Sementara kita yang diperiksa hanya menunggu pihak rumah sakit mengirimkan hasil dan berdoa.
Saat itu harga pemeriksaan SWAB masih 1.250.000 bahkan lebih tergantung pihak penyedia layanan. Maka terbayang kan berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh keluarga yang memiliki gejala Covid-19 yang ingin tau mereka Covid-19 atau bukan. Terlebih jika mereka melakukan hingga 2x SWAB.
Hasil pemeriksaan pun tidak perlu ditakutkan, karena semakin cepat terdeteksi maka akan semakin cepat tertangani. Karena yang diharapkan semua orang adalah tidak ada yang sampai parah atau meninggal karena Covid-19.
Perawatan Anak selama Isolasi Mandiri di rumah
Anakku positif Covid-19...
Ini bukanlah sesuatu yang sama sekali diinginkan oleh siapa pun khususnya seorang ibu. Tidak pernah sekalipun mimpi akan merawat anak di rumah namun semua serba terpisah dan berjarak. Tapi ini yang benar benar terjadi di rumah selama masa perawatan anak kedua ku.
Anak keduaku hanya mengalami demam selama dua malam dan satu hari, tanpa ada batuk dan pilek. Sehingga kami menganggap anak kami tersebut hanya mengalami demam biasa.
Akan tetapi, ketika orang tua dan adik ku memperoleh hasil SWAB positif, kami berinisiatif melakukan SWAB dan hasilnya anak kedua ku positif juga.
Kami tidak menyangka kalo anak kami terinfeksi virus tersebut.
Setelah melapor ke puskesmas maka kami pun dalam pemantauan puskesmas dan puskesmas menginformasikan ke pengurus RW dan RT. Maka proses isolasi mandiri pun mulai kami jalani selama 14 hari.
Alhamdulillah rumah yang kami tempati memiliki 3 kamar tidur dan 2 kamar mandi, sehingga isolasi mandiri dapat dilakukan. Ini menjadi pertanyaan dominan oleh pihak puskesmas karena mereka mengharapkan tidak ada penyebaran di dalam rumah. Pihak puskesmas menyampaikan jika di daerah kami banyak penyebaran infeksi dari rumah tangga (cluster rumah tangga).
Anak kedua tidur dengan ayahnya sementara saya dengan adiknya. Di mana sang kakak? Kebetulan kakak sudah mengikuti kegiatan pesantren sejak Juli 2020 sehingga tidak berada di rumah. Kamar mandi pun terpisah, kami bertiga di kamar mandi yang biasa digunakan asisten rumah tangga (saat kami masih memiliki ART) sedangkan anak kedua di kamar mandi yang biasa kami gunakan setiap hari.
Kami pun selalu menggunakan masker di dalam rumah. Alhamdulillah anak kedua meski masih berusia 7 tahun, dia sudah paham dan ikhlas untuk menggunakan masker setiap saat tanpa kami minta. Dia juga ikhlas untuk tidak berada dalam jarak yang tidak terlalu dekat dengan kami bertiga. Dia dan adik bermain dan berinteraksi dalam jarak yang aman. Bahkan jika adiknya mendekat dia akan berkata “de, jangan dekat dekat. Mas masih kotor”
Selama perawatan, ia mengkonsumsi beberapa obat yaitu azithromycin, vitamin D, multivitamin, obat batuk dan obat pilek. Selain itu kami pun memberikan beberapa obat herbal seperti rebusan daun jambu biji, obat herbal cina (LHQC), obat herbal yang memiliki kandungan madu (NZ 22 dan NZ 99) dan madu murni. Kami juga meminta anak kami tersebut untuk melakukan penjemuran diri di pagi hari.
Alhamdulillah biaya pengobatan anak kami ditanggung oleh pemerintah melalui program penanggulangan Covid-19. Bahkan konsultasi dengan dokter anak, pemeriksaan rontgen dan cek laboratorium semua tidak dikenakan biaya. Atau mungkin karena kami melapor ke puskesmas dan melakukan konsultasi di lakukan di RSUD sehingga kami mendapatkan pembebasan biaya pengobatan dan perawatan.
O, o, dia alami penurunan psikologis
Yup, anak kedua akhirnya mengalami masa penurunan psikologis. Tepat 2 hari setelah hasil keluar dan dia mendapatkan keadaan semua terpisah, meski dia tau memang harus seperti ini perawatannya.
Hanya dua kalimat yang dia tanyakan “Mi, beneran saya Covid-19?” dan “nanti saya meninggal dong, mi? pisah sama umi, abi, ade”
Namun pertanyaan itu selalu ditanyakan berulang kali selama hari itu dengan ekspresi yang tidak bersemangat.
Semua ibu pasti akan langsung merasa sedih mendengar pertanyaan itu.
Alhamdulillah aku rajin membaca hasil penelitian tentang Covid-19 maka aku sampaikan ke anak dengan bahasa yang mudah dipahaminya. Aku menjelaskan bahwa dia masih berada pada gejala ringan dan mengingatkan dia jika dia merasa sesak napas untuk segera kabari kami. Selain itu kami menyemangati nya untuk semangat dalam mengonsumsi obat yang diberikan.
Di sinilah aku merasa jika seorang ibu harus tetap tenang dalam merawat anak yang menderita penyakit, khususnya penyakit baru seperti Covid-19. Apalagi banyak informasi yang beredar menyampaikan tentang angka kematian pasien Covid-19 tanpa ada penjelasan pasien yang bagaimana yang menjadi parah dan meninggal. Belum lagi ada informasi tentang belum ada obat untuk pengobatan Covid-19.
Hati menangis setiap mencuci piring dan baju yang dipakainya
Aku yakin sepenuh hati tidak ada satu orang ibu pun yang tidak akan merasa sedih setiap mencuci piring dan baju anaknya namun memisahkan semua itu dari perlengkapan anggota keluarga lainnya di dalam rumah.
Semua perlengkapan makan dia terpisah dan kami berikan label namanya, baik piring, gelas, hingga sendok garpu. Tempat baju kotor pun mendadak kami pisahkan antara baju kami dengan anak kami yang sakit.
Selama ini jika mencuci baju dan perlengkapan makan tidak pernah dipisahkan, sekarang harus dipisahkan. Selama 14 hari hal ini selalu saya dan suami lakukan sendiri karena di rumah kami tidak ada ART sejak Maret 2020. Hati ini langsung teriris setiap melakukan pencucian dan melihat perlengkapan makan bersih yang terpisah antara perlengkapan makan nya dengan perlengkapan makan kami.
Alhamdulillah negatif
Alhamdulillah setelah menjalani masa isolasi mandiri selama 14 hari, kami sekeluarga kembali melakukan SWAB dan alhamdulillah anak kedua kami dinyatakan negatif.
Sebetulnya protokol terbaru saat kami melakukan isolasi mandiri, pasien yang dirawat dengan isolasi mandiri tidak perlu melakukan SWAB kembali setelah melewati masa isolasi mandiri. Akan tetapi untuk lebih meyakinkan, maka boleh melakukan SWAB kembali secara mandiri.
Banyaknya informasi yang dibaca mengenai Covid-19 membuat kami menyadari bahwa anak kami hanyalah pasien Covid-19 dengan gejala ringan, yaitu demam. Cepatnya kami melakukan pemeriksaan setelah anggota keluarga lainnya positif menjadikan anak kami cepat tertangani, karena di antara ketiga anak kami, hanya dia yang paling lemah secara fisik (mudah sakit).
Kami alumni Covid-19
Meskipun hanya satu orang di rumah yang terinfeksi Covid-19, namun kami semua “bersekolah” di sebuah sekolah bernama “Covid-19”. Di sekolah ini kami belajar bekerjasama dan merawat anak kami yang sakit Covid-19, tidak hanya merawat fisik nya agar tetap kuat melawan virus tersebut namun kami harus bekerjasama merawat kondisi psikologis nya agar tetap dalam kondis baik karena kondisi psikologis akan sangat mempengaruhi kondidi fisik nya.
Adik nya yang berusia 3 tahun pun kami berikan pengertian agar tidak bermain terlalu dekat dengan kakak nya. Dan alhamdulillah adiknya dapat mengerti.
Perjuangan terberat bagi ku, suami, keluarga besar, dan anak anak ku telah berhasil kami lewati.
Lingkungan Rumahku adalah Pejuang Covid-19
Selama isolasi mandiri tidak ada kegiatan keluar rumah sama sekali. Alhamdulillah para tetangga sudah memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi. Pihak RT bersedia memberikan bantuan kepada kami dengan menyediakan lauk pauk bagi kami selama kami melakukan isolasi mandiri. Para pengurus RT memberikan lauk pauk di pagar rumah. Anggota keluarga besar yang berada di dekat rumah juga turut membantu kami jika kami kekurangan berbagai kebutuhan rumah tangga hingga susu dan obat.
Maka dapat dibayangkan bagaimana sulitnya para keluarga pasien Covid-19 yang melakukan isolasi mandiri untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan dan kebutuhan lainnya. Sangat disayangkan jika ada suatu lingkungan yang langsung melakukan isolasi dan tidak membantu warga yang terkena Covid-19.
Munculkan sisi kemanusiaan kita
Penyakit ini adalah penyakit infeksi yang baru muncul di awal tahun 2020. Pada awal kemunculannya angka kematian pasien Covid-19 masih sangat tinggi, namun lambat laun angka kematian itu dapat ditekan dikarenakan adanya berbagai laporan penelitian dan pemeriksaan yang menginformasikan bahwa beberapa obat dapat digunakan untuk mengobati pasien COVID-19.
Selain itu, adanya laporan mengenai perbedaaan gejala pada pasien yang mengalami perawatan baik yang hanya perawatan biasa hingga perawatan intensif.
Maka muncullah kategori gejala penyakit Covid-19, dari mulai gejala ringan hingga gejala berat. Salah satu gejala yang menjadi gejala spesifik Covid-19 adalah hilangnya kemampuan mengenali bau dan rasa.
Gejala ini pun berbeda pada tiap pasien, sebagaimana yang dialami anak ku. Ia hanya mengalami demam sedangkan adik dan orang tua ku memiliki gejala yang berbeda.
Penyakit ini akan menjadi penyebab kematian jika orang yang terkonfirmasi positif memiliki penyakit bawaan seperti diabetes (penyakit gula darah), penyakit kardiovaskular (hipertensi) dan penyakit pernapasan (asma).
Sebuah laporan penelitian melaporkan bahwa tekanan darah tinggi (hipertensi) merupakan faktor utama yang dapat memperparah Covid-19 bahkan kematian (doi.org).
Sehingga perawatan dan pengobatan pada pasien dengan penyakit bawaan (komorbiditas) akan lebih ketat dibandingkan dengan pasien atau orang yang terkonfirmasi positif namun tidak memiliki penyakit bawaan.
Sisi yang harusnya muncul dalam setiap orang adalah sisi kemanusiaan. Yang pertama, sisi kemanusiaan kepada pasien Covid-19 dan keluarganya, serta sisi kemanusiaan untuk mencegah penyebaran penyakit ini.
Sisi kemanusiaan yang pertama ini sangat membutuhkan keikhlasan pada diri dan langkah nyata untuk membantu para pasien dan keluarganya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari khususnya makanan.
Sisi kemanusiaan yang kedua membutuhkan kesadaran diri untuk membantu pemerintah dan WHO untuk mencegah penularan dengan mengikuti protokol Kesehatan, melakukan pemeriksaan jika melakukan kontak dengan orang terkonfirmasi positif, melakukan isolasi mandiri atau di rawat di rumah sakit jika sudah terkonfirmasi positif.
Tanpa kita sadari, bisa jadi saat ini kita sudah “berinteraksi” dengan virus SARS-CoV-2, maka munculkan sisi kemanusiaan kita dalam menghadapi Covid-19. Mari kita sama sama mencegah penyebaran penyakit ini semakin meluas dengan membuka mata hati kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H