Klaim bahwa habaib sebagai keturunan nabi belakangan dipersoalkan. Setidaknya dalam dua tahun terakhir. Ruang publik dibuat gaduh karenanya. Tak kurang sumpah serapah dan caci maki bertebaran di medsos. Bahkan di dunia nyata sudah menjurus adu fisik juncto baku hantam.Â
Polemik yang tadinya ilmiah dan argumentatif pada gilirannya berubah menjadi kampungan. Tentu ini kontra produktif. Hal ini juga membuat pengurus PBNU pusat pusing tujuh keliling. Sebagai catatan, selama ini yang mengeluk-elukkan bahkan mengkultuskan habaib itu hanya kultural NU. Ormas lain macam Muhammadiyah mana peduli. Mereka tidak suka kultus-kultusan. Penulis tidak akan mengurai dari sisi sejarahnya karena terlalu panjang.
Polemik ini menyeruak dipicu oleh sepak terjang oknum kaum habaib yang kontroversial (dibaca:tidak mencerminkan akhlak nabi). Contohnya arogansi merasa kastanya lebih tinggi, perbudakan spiritual, dawir minta-minta uang, pemalsuan makam, dan lain-lain. Ada habib yang berpidato: satu habib bodoh itu lebih mulia dibanding tujuh puluh kyai alim.Â
Atau juga pidato: "siapa yang berani menikahi syarifah, dari kelompok pribumi, maka ibadahnya tidak akan diterima hingga kiamat". Hemat penulis, pidato tersebut noise saja. Nilai kebisingan 100, poin 0. Hemat penulis juga, doktrin ini adalah blunder fatal. Menyerang kyai-kyai NU sama halnya dengan membakar rumah sendiri. Sekarang mau minta tolong ke siapa, ke Muhammadiyah? Persis? Wahabi?
Sepak terjang tersebut tentu  kelakuan oknum. Tapi jumlahnya banyak. Hal ini menimbulkan kecurigaan dari sementara orang. Maka dimulailah penelitian; dari mulai aspek manuskrip hingga tes DNA.
Penulis sebisa mungkin menghindar dari subjektivitas. Tentunya agar tidak bias. Subjektivitas adalah problem abadi dalam filsafat. Nyaris tak ada suatu pikiran yang terlahir dari ruang hampa. Latar belakang, status, lingkungan, pendidikan, afiliasi politik, semua sangat mempengaruhi pikiran seseorang.Â
Dalam Ihya Ulumiddin disebutkan bahwa seorang laki-laki yang jujur tidak boleh menjadi saksi bagi anaknya di pengadilan. Demikian pula seorang laki-laki yang amanah tidak boleh menjadi saksi atas musuhnya. Karena akan menghasilkan kesaksian yang bias. Dan itu sulit dihindari (untuk tidak mengatakan tidak bisa dihindari).Â
Maka sebuah pemikiran harus bebas dari rasa cinta atau benci agar objektif. Contoh lain: di mata pencinta Prabowo, sebaik apapun tingkah Anies akan dilihatnya buruk. Sebagaimana di mata para pembenci Prabowo, sebaik apapun perangai Prabowo, akan tetap dianggapnya buruk.Â
Demikian pula hal ini berlaku dalam polemik nasab habaib. Mereka yang selama ini banyak bersentuhan dengan ajaran habib, seperti masyarakat  pantura; Bogor, Jakarta, hingga timur Jawa, akan mati-matian mempertahankan cintanya. Sementara mereka yang tidak banyak bersinggungan dengan kaum habaib akan cenderung lebih terbuka dan kritis. Maka kami mencoba melepaskan diri dari belenggu subjektivitas tersebut dan menempatkan pikiran ini seadil-adilnya. Tentu berdasarkan pisau analisis keilmuan.
Tiga tahun lalu, ketika riak-riak polemik ini mulai terlihat, serta merta kami mengisi beberapa khutbah dengan tema egalitarian. Bahwa prinsip ajaran Islam adalah kesetaraan. Islam tidak mengenal kasta. Yang membuat derajat seseorang naik itu karena keimanan dan ilmunya (lihat QS. Al Mujadalah ayat 11).
Bukan karena nasabnya. Membangga-banggakan nasab adalah alamat orang yang defisit akal. Membangga-banggakan nasab adalah prilaku jahiliyah yang akan membuat peradaban ini mundur 500 tahun ke belakang. Imam Bukhari adalah seorang yang yang lahir di sekitaran Rusia. Jauh dari keturunan nabi. Tapi karena ilmunya, namanya tetap abadi hingga hari ini.Â
Agaknya kami sudah mengendus bahwa riak-riak di atas akan terus membesar, menggelinding ibarat bola salju, dan pada gilirannya akan menjadi bom waktu. Prof. Yusril Ihza Mahendra mengajari bahwa kami harus memiliki kemampuan untuk melihat apa yang orang lain tidak lihat.
Dan benar saja toh. Per hari ini polemik tersebut menjalar dan makin tidak karu-karuan. Para elit PBNU terjebak dalam pusaran ribut nasab. Satu sama lain saling berhadapan atau "dihadap-hadapkan". Polemik ini juga kini melibatkan para pesohor publik. Tak kurang Rhoma Irama ikut bersuara.Â
Dan suara Rhoma ini memiliki "gaung" yang lebih besar karena kebesaran namanya. Terbukti podcast di channel youtubnya sudah ditonton jutaan orang. Penulis sempat bertanya kepada Komisi Fatwa MUI, apakah MUI akan mengeluarkan fatwa terkait polemik ini? Jawaban MUI, sejauh ini belum ada pembahasan hal tersebut. Biar diselesaikan di internal Lembaga Bahtsul Masail saja. Demikian keterangan Komisi Fatwa.
Lalu bagaimana kira-kira akhir dari polemik nasab ini? Dalam suatu perdebatan, adakalanya dicapai suatu titik temu; ijma'/konsensus. Tapi tak jarang berakhir mauquf atau deadlock. Penulis berharap semua pihak bersikap secara lebih bermartabat. Juga melakukan evaluasi. Kami tidak setuju dengan pernyataan Ketua Rabitah Alawiyah, Habib Taufiq Assegaf, yang menyebut polemik ini seperti bau kentut yang akan hilang dengan sendirinya. Mari semua saling merefleksi diri. Dalam suatu "ribut-ribut', sebenar apapun kita pasti ada titik salahnya.
Akhirul kalam penulis mengutip kalam "Syaikh" Mahatma Gandhi: ada tiga hal yang tidak bisa disembunyikan di dunia ini; yakni matahari, bulan, dan kebenaran.
Bogor, 29 Juli 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H