Bukan karena nasabnya. Membangga-banggakan nasab adalah alamat orang yang defisit akal. Membangga-banggakan nasab adalah prilaku jahiliyah yang akan membuat peradaban ini mundur 500 tahun ke belakang. Imam Bukhari adalah seorang yang yang lahir di sekitaran Rusia. Jauh dari keturunan nabi. Tapi karena ilmunya, namanya tetap abadi hingga hari ini.Â
Agaknya kami sudah mengendus bahwa riak-riak di atas akan terus membesar, menggelinding ibarat bola salju, dan pada gilirannya akan menjadi bom waktu. Prof. Yusril Ihza Mahendra mengajari bahwa kami harus memiliki kemampuan untuk melihat apa yang orang lain tidak lihat.
Dan benar saja toh. Per hari ini polemik tersebut menjalar dan makin tidak karu-karuan. Para elit PBNU terjebak dalam pusaran ribut nasab. Satu sama lain saling berhadapan atau "dihadap-hadapkan". Polemik ini juga kini melibatkan para pesohor publik. Tak kurang Rhoma Irama ikut bersuara.Â
Dan suara Rhoma ini memiliki "gaung" yang lebih besar karena kebesaran namanya. Terbukti podcast di channel youtubnya sudah ditonton jutaan orang. Penulis sempat bertanya kepada Komisi Fatwa MUI, apakah MUI akan mengeluarkan fatwa terkait polemik ini? Jawaban MUI, sejauh ini belum ada pembahasan hal tersebut. Biar diselesaikan di internal Lembaga Bahtsul Masail saja. Demikian keterangan Komisi Fatwa.
Lalu bagaimana kira-kira akhir dari polemik nasab ini? Dalam suatu perdebatan, adakalanya dicapai suatu titik temu; ijma'/konsensus. Tapi tak jarang berakhir mauquf atau deadlock. Penulis berharap semua pihak bersikap secara lebih bermartabat. Juga melakukan evaluasi. Kami tidak setuju dengan pernyataan Ketua Rabitah Alawiyah, Habib Taufiq Assegaf, yang menyebut polemik ini seperti bau kentut yang akan hilang dengan sendirinya. Mari semua saling merefleksi diri. Dalam suatu "ribut-ribut', sebenar apapun kita pasti ada titik salahnya.
Akhirul kalam penulis mengutip kalam "Syaikh" Mahatma Gandhi: ada tiga hal yang tidak bisa disembunyikan di dunia ini; yakni matahari, bulan, dan kebenaran.
Bogor, 29 Juli 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H