Indonesia hingga saat ini belum/tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO), pun demikian sudah melakukan upaya untuk menjadi lebih baik. Upaya-upaya memberikan layanan perlindungan kepada lebih banyak korban melalui lembaga terkait mengidentifikasi, menerima, dan membantu lebih banyak korban eksploitasi baik di dalam maupun negeri dibanding tahun sebelumnya.
Dipandang perlu untuk mengembangkan deteksi dini yang melibatkan semua pemangku kepentingan  dalam menekan dan mengeliminnasi eksploitasi anak, didalamnya juga ada masyarakat dan keluarga. Dalam pemantauan terbaru ILO (Juli 2020) akibat Covid 19 telah hilang jam kerja setara dengan 400 juta pekerjaan penuh waktu.  Hal ini lebih buruk dari perkiraan sebelumnya.Â
Ada 152 juta pekerja anak didunia mayoritas bekerja pada sektor pertanian. (Data ILO Juli 2020). Hal ini minim dengan kondisi Indonesia yang mayoritas bekerja pada sektor pertanian. Tingginya pengangguran muda dan eksploitasi anak yang masih diatas rata rata global hal ini akan menjadi hambatan untuk mencapai tujuan peta jalan penghapusan pekerja anak 2022.
Pandemik Covid 19 yang sudah berjalan satu tahun ini,  tahun 2021 inio kemiskinan diproyeksikan meningkat menjadi 12,4% yang berakibat 11 juta anak dari rumah tangga rentan  berpotensi Menjadi pekerja anak. ((The SMERU Reserch Institute). Menjaji penting mengingat tahun 2030 70%  anak menjadi generasi yang produktif yang bekerja sesuai dengan minat.
Saat ini, tidak sedikit anak  menjadi korban eksploitasi dan perdagangan anak. Hal ini disebabkan bukan hanya bencana non alam, tetapi juga berdampak pada masalah ekonomi, sosial anak. Penyebab utama putus dan tidak melanjutkan pendidikan adalah faktor; kemiskinan.
Kondisi yang tidak bersekolah, memungkinkan anak untuk mengenal uang dan memasuki dunia kerja. Berawala dengan membantu perekonomian dan pekerjaan orangtua.Â
Permasalahan ini  perlu adanya sinergi bersama.  Dengan pembangunan berkelanjutan sebagai bagian dari komitmen Global (SDGs 8.7): Masa depan tanpa keperja anak: mengahiri dan menghapus segala bentuk perbudakan anak, perdagangan anak, dan pekerja anak.  Secara bersama memastiksn hal ini dapat tercapai pada 2030.
Pada tahun pandemik Covid 19 ini setidaknya ditemukan peningkatan anak jalanan sebesar 15%, anak yang dilacurkan 31,6%, pemulung 15,8% anak bekerja pada sektor pertanian 21,1% PRTA 15,8%. (Seknas jarak 2020). Kondisi dan situasi pekerja anak rata-rata bekerja pada situasi pelacuran, suhu panas yang ekstrim bekerja dijalanan, dan terpapar bahan berbahaya.Kondisi ini cuga rawan terpapar covid 19. Mayoritas lingkungan pekerja anak dapat merusak dan menghambat tumbuh kembang anak.
Pada sisi yang laian anak anak rentan menjadi korban TPPO atau berkisar 78%. Hanya anak anak yang bekerja pada sektor pertanian yang tidak rentan terhadap kejahatan TPPO. Karena  memang mudah dijual secara online. Situasi Covid 19 tidak sedikit mucikari menyasar mereka, dengan kondisi jauh dari pengawasan orang tua.
Data yang ada melaporkan persoalan pekerja anak dalam 5 tahun terahir cukup meluas varian dan jangkauannya. (Seknas Jarak 2020). Data dari tahun 2011 hingga 2020 Â angka eksploitasi dan TPPO anak mencapai 2.474 kasus. (KPAI 2020). Berdasarkan jenis pekerjaannya, pekerja anak dapat dipilah sebagai; Pekerja anak diperkotaan: 1) Anak jalanan, 2) Anak Pemulung, 3) Anak yang dilacurkan 4) PRTA.
Sementara pekerja anak dipedesaan: 1)pekerja anak disektor pertanian dan perkebunan.  Dari berbagai laporan penelitian ternyata  angka kekerasan dan eksploitasi terhadap anak meningkat. Dalam kontek pekerja anak , pada masa pandemik covid 19 anak yang dilacurkan menempati posisi teratas. Anak yang dilaurkan bekerja pada situasi  membahayakan moral sperti diskotik, tempat bilyar dan permainan ketangkasan lainnya.