Mohon tunggu...
Arie Yanwar
Arie Yanwar Mohon Tunggu... Administrasi - Hanya seorang rakyat yang peduli kepada negerinya tercinta

Menulis sebagai bentuk apresiasi pada pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Larangan Ekspor Batubara: Momentum Akselerasi Penggunaan Energi Baru Terbarukan

10 Januari 2022   18:11 Diperbarui: 12 Januari 2022   08:53 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah memutuskan untuk melarang ekspor batubara sepanjang bulan Januari 2021. Kebijakan ini tentu saja merupakan pedang bermata dua bagi pemerintah. Di satu sisi, batubara sangat di butuhkan oleh PLN sebagai bahan bakar pembangkit listrik. 

Namun, ketika harga batubara sangat tinggi di pasar internasional maka para produsen batubara di Indonesia akan lebih memilih untuk mengekspor produksi mereka daripada menjual ke PLN mengingat harga batubara domestic telah ditentukan pemerintah sebesar 70 USD/MT sesuai Kepmen ESDM Nomor 139 tahun 2021. 

Selain itu, 38 persen sumber energi kita masih berasal dari batubara sehingga PLN sangat membutuhkan suplai batubara agar dapat memenuhi kebutuhan listrik masyarakat.

Di lain sisi, larangan ekspor batubara juga dapat merugikan negara dari sisi pendapatan negara baik perpajakan maupun PNBP. Hal ini dikarenakan profit perusahaan batubara dari pasar ekspor akan turun sehingga bagian yang akan disetor ke pemerintah juga otomatis akan turun. 

Selain itu, investasi di sektor pertambangan terutama batubara juga akan terhambat akibat diberlakukannya kebijakan larangan ekspor tersebut.

Tentu saja kalau dari sisi pengusaha batubara, kebijakan larangan ekspor akan sangat merugikan mereka, karena mereka tidak dapat menikmati keuntungan maksimum di kala harga internasional sedang tinggi. 

APBI (Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia) menyatakan akan tetap patuh terhadap kebijakan pemerintah. Kita hanya berharap bahwa komitmen APBI juga akan dipenuhi para pengusaha batubara.

Terlepas dari pro dan kontra kebijakan larangan ekspor batubara, saya memandang kebijakan ini sebagai momentum untuk mendorong PLN agar dapat lebih banyak memproduksi listrik yang dibangkitkan dari sumber energi baru terbarukan (EBT). Saat ini bauran EBT baru mencapai 11,2% sehingga disparitas dengan penggunaan batubara masih sangat besar. 

Hal ini tentu saja akan menyulitkan PLN karena komponen bahan bakar dalam pembangkit listrik batubara sangat tinggi, sehingga diperlukan intervensi pemerintah ketika terjadi disrupsi harga. 

Tanpa kebijakan DMO, akan sangat mustahil bagi PLN untuk dapat mengamankan pasokan batubara tanpa harus menyesuaikan harga jual listrik, di mana hal ini akan menciptakan polemik baru bagi pemerintah.

Namun kebijakan DMO jangan dijadikan instrumen untuk memanjakan PLN. Sebagai contoh, banyak pengusaha batubara yang tidak bisa memenuhi komitmen DMO mereka. 

Hal ini dikarenakan adanya perbedaan spesifikasi batubara yang di produksi dengan yang dibutuhkan oleh pembangkit PLN, sehingga mereka harus membayar denda atau dana kompensasi karena tidak memenuhi DMO.

Kementerian ESDM berupaya agar dana yang terkumpul dari pengusaha batubara, yang tidak memenuhi komitmen, DMO dapat digunakan untuk membangun fasilitas coal blending atau pencampuran batubara agar batu bara kalori rendah yang tidak sesuai spek PLN dapat dicampur dengan batubara kalori tinggi sehingga PLN akan menggunakan batubara oplosan untuk pembangkit listriknya.

Hal inilah yang menurut saya keliru, seharusnya kebijakan DMO di integrasikan dengan kebijakan climate change yaitu dalam rangka menurunkan emisi gas rumah kaca.

Jadi dana yang terkumpul dari pengusaha batubara yang tidak sanggup memenuhi komitmen DMO di earmark dengan kebijakan climate change yang selaras dengan kebijakan energi yaitu pengembangan EBT.

Pengembangan EBT membutuhkan dana yang tidak sedikit, apalagi jika pemerintah ingin mengejar target bauran EBT sebesar 25% di tahun 2025.

Dana yang dibutuhkan diperkirakan mencapai US$30 miliar atau lebih dari Rp420 triliun (tergantung asumsi kurs). Angka tersebut cukup fantastis, namun masuk akal mengingat infrastruktur EBT yang belum matang di Indonesia.

Anggaran sebesar itu tidak mungkin di tanggung oleh semuanya oleh PLN maupun negara. Keikutsertaan sektor swasta juga sangat dibutuhkan.

Namun, investasi EBT tanpa mekanisme insentif berakibat pada harga listrik yang mahal, sehingga hal ini dapat membebankan APBN apabila pemerinytah harus menambah subsidi listrik. Di lain sisi, tanpa insentif untuk pengembangan EBT maka sektor swasta juga akan ter-discourage untuk berinvestasi.

Jalan menengah yang terbaik, menurut saya adalah menggunakan dana yang terkumpul dari DMO untuk membiayai pengembangan EBT dengan memberi insentif kepada pihak swasta yang ingin membangun pembangkit EBT.

Selain DMO, pemerintah juga dapat mengenakan pungutan ekspor dengan tarif progresif dimana peruntukan dana yang terkumpul dapat digunakan untuk pengembangan EBT di Indonesia. 

Kebijakan seperti ini, menurut saya, akan lebih win-win bagi semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, maupun para importir batubara Indonesia, ketimbang melakukan pelarangan ekspor batubara.

Pemerintah dapat belajar dari kebijakan yang dilakukan untuk pengembangan biodiesel dimana dana yang diperoleh untuk memberikan insentif biodiesel berasal dari pungutan ekspor minyak kelapa sawit yang merupakan bahan utama membuat biodiesel.

Pemerintah dapat melakukan hal yang sama terhadap batubara melalui bauran beberapa kebijakan seperti DMO serta pungutan ekspor atas batubara dan tidak terbatas pada larangan ekspor semata. Tapi yang pasti dana tersebut jangan digunakan kembali untuk penggunaan batubara untuk kepentingan pembangkit listrik.

Harga batubara tinggi harusnya di jadikan momen untuk pengembangan EBT. Larangan ekspor adalah bukti bahwa pengusaha akan lebih memilih untuk membayar daripara menjual batubara mereka kepada PLN. Pemerintah sebaiknya mengambil momen ini sebagai langkah maju untuk mengembangkan EBT bukan sebaliknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun