Terus terang saya tidak tahu bagaimana sakitnya kontraksi melahirkan karena tidak ada yang bisa menggambarkan dengan kata-kata. Ya sudah saya anggap sakit saja, yang bahkan ketika jalan lahir si bayi di jahit oleh dokter pun, istri saya nyaris enggak ngerasa apapun lagi, mungkin karena efek bius lokal dan sakit waktu melahirkan memang jauh lebih sakit daripada waktu dijahit.
Tetapi proses kelahiran anak kedua inilah yang benar-benar yuhui banget.
Berhubung di UK setiap kehamilan hanya ada jatah 2 kali USG maka pada saat cek kehamilan di minggu 34, bidan merasakan sepertinya kepala bayi ada di atas dengan kata lain sungsang dan istri pun dirujuk kembali untuk USG di minggu 35 dan benar ternyata kepala bayi posisinya sungsang dan kehebohan pun dimulai.
Pada saat anak pertama, istri saya sudah rajin ikut kelas senam hamil di bulan ke-7. Nah di UK, senam hamil bukanlah suatu hal yang biasa, malah ketika saya tanya ,"Is there any maternity exercise to do?" Jawaban bidan cuma simpel, "no!" Tapi kalau mau mengikuti kelas yoga, ya silakan saja.
Padahal setahu saya bidan-bidan di Indonesia banyak yang menyarankan para bumil untuk ikut senam hamil yang salah satu kegunaannya adalah untuk mencegah sungsang.
Berhubung di UK senam hamil tidak ada plus tidak ada jatah untuk USG setiap bulan barulah ketahuan kalau posisi bayi sungsang di minggu 35 alias masuk bulan ke-9. Sehingga kami pun di suruh wait and see dan datang lagi minggu berikutnya untuk USG lagi.Â
Ketika saya tanya langkah apa yang sebaiknya dilakukan, sang bidan di rumah sakit malah berkata tetap aktif seperti biasa dan ketika istri saya berkata, "I'll pray to god for the baby" eh bidan cuma cekikikan doank dikira lawakan cak lontong kali ya.
Untung bidan yang biasa nangani istri saya lebih positif ngomongnya dengan berharap bahwa posisi bayi segera ke bawah. Istri saya pun semangat senam hamil dan berguru padaYoutube.
Masuk ke minggu 37 hasil scan USG awal menyatakan kepala bayi masih sungsang walaupun akhirnya berubah jadi transfer atau melintang. Walhasil, kami pun harus bertemu dokter dan gak pake basa-basi, dokter langsung menyatakan kalau istri saya sebaiknya di observasi di rumah sakit selama 1 minggu.
Terus terang, rumah sakit nya memang bagus dan pelayanannya juga sangat baik dan tentu saja GRATIS. Tapi siapa sih yang tahan di rumah sakit? Lagian siapa juga yang mau urus anak pertama kalau ibunya harus di rawat inap di RS, sehingga kami putuskan untuk pulang.
Dokter pun bersedia melepas setelah mengetahui kalau rumah kami cukup dekat dengan RS, padahal sebelumnya udah lumayan ngotot supaya istri di rawat inap selama 1 minggu.