Mohon tunggu...
Ayatullah Nurjati
Ayatullah Nurjati Mohon Tunggu... Guru - penikmat seni, pencinta Aquscape, Penggiat Teater, Penikmat musik Dangdut, Pemancing Amatir

Pernah ngeleseh selama 3 tahun di Jogja, penikmat dan pengamat seni. Pernah Bergiat di teater Plonk STIBA Jakarta Internasional, dan tutor sastra pada Forum Lingkar Filsafat dan Sastra KOPLIK Ciputat, Pernah bergiat di berbagai LSM. Pernah menjabat menjadi Ketua Senat ABA YPKK-STBA Technocrat 2001-02 dan pernah pula menjabat sebagai pimpred Communicado Press (sebuah wadah penulis muda). Aktif menulis di berbagai surat kabar terkemuka di Jakarta dan daerah. Pernah menjadi Ketua wadah Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Inggris SMK Jakarta Barat 2. Pernah mengajar terbang di Beberapa Kampus Terkemuka di Jakarta. Saat ini menjadi tenaga pengajar di SMK Negeri di Bilangan Jakarta Barat. Sedang menulis sebuah kumpulan cerpen (berujung besi) dan menyelesaikan Novelnya yang berjudul Cinta Cyber--Sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Toko Buku Tamak

14 Oktober 2021   06:37 Diperbarui: 14 Oktober 2021   06:46 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari Minggu cerah tepatnya Tanggal 3 November 2004, 17 Tahun lalu. Hari itu biasanya orang-orang bertamasya bersama kekasih pujaannya atau bercengkrama ria bersama keluarga di rumah---mungkin  saja mereka pergi ke tempat hiburan atau melakukan hal lain yang menyenangkan, tidak terkecuali si Naufal adalah mahasiswa semester VI sastra Prancis yang nampak bergegas dari kostan nya yang kumuh menuju ke suatu tempat kencannya yakni perpustakaan atau toko buku.

Di saku kemejanya yang lusuh tergolek uang recehan yang tidak sempat ia hitung terlebih dahulu. Dia menunggu bus jurusan Depok---Lebak Bulus di halte sebelah rumah makan padang sambil sesekali memandangi jalan legam yang tak bertrotoar, tak lama kemudian bus itu tiba dan ia bergegas tuk naik bus tersebut.

Tidak lama berselang kenek yang biasa melakukan pekerjaan rutinitasnya meminta ongkos dan dengan terpaksa dia merogoh uang recehan tersebut untuk membayar ongkos angkot tersebut yang nampak lengang dari penumpang. 

Sambil berpikir panjang diambil rokok di tasnya yang kumal, dibakarnya dan dihisap dengan nafas panjang, tumben pagi tadi dia beli rokok ketengan  di warung Mpok Ati, biasanya dia ngebon disana, kalau saja dihitung hutangnya di warung Mpok Ati mungkin dia tidak mampu untuk membayarnya.

Naufal nampak tenang dan berharap banyak agar nantinya setelah dia sampai di tempat yang dipujanya akan bisa membaca beberapa teori dan kritik sastra di toko buku, maklumlah dia tak mampu untuk membelinya, membayar uang kost saja sudah sulit apalagi membeli buku original, haruslah dia pintar-pintar menyematkan keindahan akademis dengan cara seperti ini. 

Kalaulah belajar dia biasanya menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan---karena memang kawan-kawan sekelasnya menyebutnya macan perpustakaan, faktanya dia jarang keluar kost. 

Kesehariannya dihabiskan hanya untuk berkencan dengan buku---kalau  baru dapat kiriman dari orang tuanya di kampung dia tidak segan-segan tuk mengkopi buku milik dosennya yang biasanya disambanginya---terkadang dia terpaksa tidak makan dua hari demi untuk memfotokopi buku idolanya, begitu gilanya ia studi dan keranjingan buku sampai ia lupa menyisihkan untuk uang kost atau bahkan sampai lupa pula tuk berkencan dengan lawan jenis karena alasan material.

Diantara gedung-gedung yang menjuntai ke arah faktual tersiar suatu ilmu absolut disitulah tertambat Berbagi kemapanan yang terinspirasi oleh keinginan hatinya, komik, novel, buku-buku, jurnal dan berbagai pernak-pernik informasi baru seolah menggeliat hendak tuk ditelan.

Tak jauh dari gedung itu, dia turun di halte kemudian dengan garangnya ia melangkah ke mall, sudah jam 3 lewat seperempat dia menoleh ke toko jam, dia memperhatikan wanita-wanita belia lajang yang menandakan suatu kemapanan dari luar.

Dia berpikir inilah dunia dan budaya pop yang merajai Jakarta---maklumlah saat itu sedang tenar-tenarnya dengan fashion ala hip style, kalaulah ditilik memang tidaklah seperti wanita di kampungnya yang kuno dan lugu yang biasanya memakai kerudung atau kebaya.

Kalaulah dihitung-hitung diantara para pengunjung mall tersebut mungkin dialah salah satu manusia asing yang terisolasi di tempat itu, tetapi dengan berbekal keyakinan akan menemukan keindahan yang bisa direguknya, dia tidak menghiraukan manusia kaleng itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun