Mohon tunggu...
Samaya Fitri
Samaya Fitri Mohon Tunggu... -

Perempuan yang gemar melukiskan perasaannya lewat tulisan...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan yang Memilih Mati

16 Februari 2016   17:48 Diperbarui: 16 Februari 2016   18:31 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorang perempuan duduk didepan meja rias kamarnya, wajahnya tak kalah cantik dari bunga mawar yang ada di vas samping meja riasnya, kulitnya tak kalah putih dari gaun yang dipakainya.

Ia memandang bayangan dirinya sendiri yang memantul dari cermin didepannya,.muda, cantik dan mapan untuk perempuan seusia dirinya dan ia menyadari itu. Kembali ia memoleskan lipstick merah yang akhir-akhir ini menjadi warna favoritnya. Warna yang cantik serupa darah, pikirnya.  Kemudian ia beridiri dan mematut-matut gaun putihnya, memutar-mutar badannya beberapa kali  didepan cermin yang sama, “sempurna” bisiknya  sambil tersenyum tipis.

Sesaat kemudian ia kembali duduk di kursi depan meja riasnya, kali ini ia dengan saksama memerhatikan detail wajahnya sendiri, rambut hitam legam sepunggungnya yang lebat, wajah cantiknya yang oval , dagu yang serupa telur terbalik menggantung  dengan belahan di bawahnya, tulang pipi yang tinggi,  hidung bangir sempurna. Pandangannya terhenti lama saat ia melihat matanya sendiri, bola mata warna hazel memantul indah di hiasi bulu yang lentik, warisan dari orang yang di bencinya. Namun sayang dibalik mata indahnya itu, ia memiliki tatapan yang kosong, ada sesuatu yang ia sembunyikan di dalam sana, sesuatu yang gelap.

perempuan cantik itu sedang duduk di meja rias kamarku.

**

“ Kanaya, apa kau di dalam,? Ini aku, Arka”  sebuah suara terdengar dari pintu depan disertai ketukan beberapa kali. Ah iya bukankah  malam ini aku sedang menunggu seseorang, kulirik jam didinding kamarku, jam tujuh tepat. Ya lelaki itu memang selalu tepat waktu. Aku keluar dari kamar dan segera menuju pintu depan rumah, menarik napas sejenak dan merapikan gaun sebelum aku benar-benar membukanya. Kulihat sosoknya yang tegap sudah berdiri dengan sebuket bunga krisan putih di tangan, bunga favoritku.

“selamat datang” ucapku sambil memasang senyum yang kujamin terlihat seribu kali lebih manis dari  gulali pasar malam. Ia tersenyum, kulihat matanya penuh  tatapan kekaguman akan diriku, seperti biasa. Aku kembali tersenyum, puas. “Untukku?” aku bertanya sambil melirik bunga krisan di tangannya, “ah, iyaa”  jawabnya sambil menyerahkan bunga itu kepadaku. Aku menerimanya dengan mata berbinar layaknya anak kecil yang di berikan mainan baru. Sejurus kemudian aku memeluknya erat, sangat erat seakan aku tak pernah mau kehilangan dia lagi untuk kesekian kali.

Kulepaskan pelukan itu dengan sangat berat kemudian kucium pipinya sekilas. “kamu mau masuk dulu sebentar atau kita langsung jalan saja?” tanyaku. Kami memang janjian untuk pergi makan malam di salah satu restoran kota ini. “kita langsung jalan saja ya kanaya, aku takut kena macet dijalan nanti, kau seperti tidak tahu saja arus lalu lintas di kota ini”. Aku tersenyum dan mengangguk, lalu dia menuju mobilnya yang terpakir di depan rumah, membukakan pintu untukku dan kemudian berlalu untuk masuk ke kusrsi kemudi.

Mobil kamipun lalu melaju, memasuki lalu lintas yang tadi dikatakan lelaki itu. Benar saja jalanan sudah padat merayap, arka memilih jalur masuk tol agar tak terlalu macet.

Pluk!! Tiba-tiba telapak tangan lelaki itu memukul pelan wajahku. “a apa”?” kataku tergeragap kaget  menoleh kearahnya. “kamu itu ya, gak berubah”  tawanya yang renyah berderai. “apanya yang gak berubah”? aku merengut kesal sambil memalingkan muka kesamping. “mata kamu kanayaaa, kosong. Aku gak pernah ngerti apa sih yang kamu lamunin? Tapi yang jelas sepertinya bukan aku yah yang ada di kepala kamu itu? karena jelas-jelas aku ada disini, disamping kamu” tawanya semakin lebar. Kenapa sih lelaki ini selalu tahu kalau memang pikiranku sedang tidak ada ditempat, namun tentu saja dia salah tentang apa yang aku pikirkan, karena nama Arkasana Darmadyaksa selalu dan akan selalu ada di kepalaku. Aku menunduk, malu. Sedang dia aku lihat sudah kembali konsentrasi dengan jalanan di depannya.

**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun