Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cannabis Sativa, Hanya Sepenggal Cerita

3 Desember 2024   06:15 Diperbarui: 6 Desember 2024   14:59 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi polisi menangkap penjahat. Foto oleh VIVIANE6276 | Pixabay 

Aku jadi teringat Tengku Rizal. Tersebab dirinya aku jadi tahu apa itu yang namanya seorang lelaki, petualangan, kenekadan, juga peluru. 

Ini kisahnya.

***

Berawal dari kehadiran Tengku Rizal di lingkungan kami, yang membuat perubahan besar pada kami yang rata-rata masih remaja, terlebih pada diriku. Kini kami sering pindah tongkrongan ke depan rumahnya.

Bang Izal -- demikian kami memanggilnya -- cepat membaur di lingkungan kami, terutama kepada anak-anak remaja. Ia gampang membuka dompetnya. Rokok, makanan, selalu ada di rumahnya. Dan, tentu, dari Bang Izal kami belajar minum yang mengandung alkohol. Aku yang waktu itu baru tamat SMA, masih menganggur, senang-senang saja. Karena rumah kontrakannya dekat dengan rumahku, tentu aku lebih sering main ke rumahnya.

Tapi, apa pekerjaannya?

Bang Izal hanya tertawa saat kami menanyakan hal itu. "Biasalah, bisnis kecil-kecilan. Kadang bawa sayur-sayuran, buah, apa saja, dari Sumatera. Dan balik lagi bawa barang dari Jakarta," kilah Bang Izal. Sepertinya ia kurang suka ditanya lebih detail.

Mobil Bang Izal sering berganti-ganti. Kadang mobil box, pickup, dan di hari lain menggunakan mobil sedan. Tapi memang ia lebih sering menggunakan mobil box.

Baca juga: Daulat Tuanku

Ia sering menghilang beberapa hari, bahkan hingga sebulan. Bang Izal pergi, entah ke mana. Kalau pulang ia biasanya pulang saat tengah malam. 

Aku sering meminta diajaknya ikut membantunya, terserah membantu dalam hal apa. Capek juga menjadi pengangguran. Tapi Bang Izal menolak secara halus. "Kamu masih muda, nggak bakalan kuat," alasan Bang Izal. Sampai suatu ketika, tiba-tiba saja Bang Izal mengajakku.

"Kebetulan aku membawa barang cukup banyak. Tapi kita sampai tiga hari. Mau?" 

Kapan lagi? Aku langsung mengangguk. "Memang bawa apa?" tanyaku.

Bang Izal membawaku ke rumahnya. Di dalam kamarnya ada tas ransel lusuh, juga kardus. Ketika dibuka aku cukup terkejut. Terlihat bungkusan-bungkusan ukuran sedang -- mungkin sekitar 1 kg -- dengan kertas kopi coklat (ada juga yang menyebut kertas sampul buku). Itu pernah kulihat di televisi, saat polisi memamerkan hasil tangkapan mereka terhadap kelompok pengedar narkoba.

Aku memandang Bang Izal. "Ganja? Jadi selama ini Abang menjual ini?"

Bang Izal tertawa pelan. "Kau pikir selama ini aku punya banyak uang karena jual emas? Punya perusahaan? Anak pejabat?"

"Nggak takut ditangkap polisi?"

"Buktinya sampai hari ini aku aman-aman aja." Bang Izal terkekeh. "Tapi kita harus tetap hati-hati. Intinya, jangan percaya kepada siapa pun," lanjut Bang Izal.

"Barang ini ngambil dari mana?"

"Ada. Nanti juga kamu tahu. Tapi kalau kamu tipe lelaki penakut sebaiknya jangan."

Sempat ada rasa was-was. Akhirnya kuberanikan juga. Dan petualangan pun dimulai.

***

Ternyata barang-barang itu sudah ada penampungnya. Juga ada tempat-tempat tertentu untuk bertemu. Terkadang tempat pertemuan diganti atau ditunda, karena kami merasa sedang diintai petugas kepolisian.

Suatu waktu aku diajak Tengku Rizal mengambil barang langsung di Ujung Sumatera. Bang Izal begitu cerdik dan teliti. Ia mempersiapkan plat-plat nomer kendaraan dari berbagai daerah. Memasuki wilayah Sumatera Utara kami mengganti nomer polisi kendaraan dengan nomer wilayah yang kamu lalui. 

Begitu seterusnya sampai memasuki wilayah Sumatera Barat, Palembang, hingga Lampung. Karena menurut pengalaman, polisi sering menghentikan kendaraan dengan plat nomer dari daerah lain. Untuk kamuflase biasanya kami tumpukkan hasil-hasil pertanian, seperti pisang, kelapa, dan sebagainya.

Sampai di Pelabuhan Bakauheni, kami mulai waspada; di sini sering pemeriksaan. Tapi selama ini petugas pelabuhan belum ada yang menaruh kecurigaan. Karena selama ini selalu, istilah kami, bersembunyi dalam terang. Kami selalu mengusahakan ketika sampai di Bakauheni hari sudah siang. Mereka takkan curiga kami bisa seberani itu. Memang pada umumnya mobil-mobil yang membawa barang sering menyeberang pada waktu malam.

Selain itu kami pernah membawa barang secara terang-terangan. Sebagian dari kami diborgol. Dan ada dua sampai tiga orang kawan kami seolah-olah mengawal. Mereka tentu berpakaian seragam kepolisian atau tentara. "Ini ada tangkapan besar di Lampung. Akan kami bawa ke Jakarta," kata kawan yang berpakaian seragam, penuh percaya diri, kepada petugas pelabuhan saat kami kepergok.

Ini memang memerlukan mental baja.

Sampai wilayah Tangerang dan -- apalagi Jakarta -- kami selalu lolos. Mungkin tipikal penduduknya yang tak peduli dengan sekelilingnya, menguntungkan kami.

Tapi, ya itu tadi, uang yang didapat begitu besar dan mudah, begitu mudahnya pula kami menghabiskan. Kami sering foya-foya.

Semua itu akhirnya terhenti. Saat kami ngedrop barang di wilayah Anyer, kami digerebeg. Kami tak menyadari, rupanya selama ini kami sudah diintai.

Kami melawan. Terjadi baku tembak. Perlawanan kami hanya sebentar karena dikepung puluhan petugas kepolisian. Bang Izal dan dua orang teman kami tewas di tempat. Sedangkan aku dan seorang lagi ditangkap.

Aku sendiri, sebuah peluru menembus dadaku. Kalau bidikan itu bergeser satu cm ke arah kiri tentu itu tepat mengenai jantungku. Dan tentu hari ini kamu tidak bisa mendengar ceritaku.

***

Lebakwana, Desember 2024.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun