Era Presiden SBY, kebebasan bersuara lebih terbuka. Bahasa-bahasa tidak lagi lahir dari pusat kekuasaan, tapi dari kalangan masyarakat. Dalam suatu aksi demo ada seorang pendemo membawa seekor kerbau yang tubuhnya diberi tulisan Si BuYa, mengacu pada nama SBY, menggambarkan tindakan Presiden SBY yang terkesan ragu-ragu (atau lamban) dalam mengambil keputusan. Bahkan cover Majalah Tempo pernah memberi judul, Selalu Bimbang Ya?
Dan era Presiden Jokowi adalah di mana kegiatan media sosial begitu masif. Begitu bebas. Muncullah bahasa-bahasa dari masyarakat, yang berhadap-hadapan dengan kekuasaan.
Ada politik indentitas, buzzer, survei bayaran, Aseng-Asing, begal konstitusi, Mahkamah Keluarga, Mahkamah Adik, belimbing sayur, samsul. Binatang pun menjadi tersangka: cebong, kampret, kadrun (kadal gurun). Nama negara lain ikut terseret, dengan konotasi rasis: Cina, Yaman.
Harus dimasukkan pula revolusi mental, infrastruktur, tol, IKN, dan kerja, kerja, kerja.
Yang sarkasme dan pejoratif. Gorong-gorong, plonga-plongo, dungu, Konoha, hingga dinasti politik.
Dan Mukidi. Dan Mulyono.
Mulyono, tadinya saya tidak tahu apa maksudnya. Ternyata itu nama kecil Jokowi. Ini langsung ditangkap oleh kelompok yang tak suka kepada Pemerintah, dijadikan peluru sebagai kata ganti untuk nama Jokowi. Rezim Mulyono.
Tone Deaf ikut berkibar.
Tone Deaf adalah istilah musik yang berarti tuli nada. Istilah ini dapat juga diartikan untuk orang yang tak peduli, tak punya empati, terhadap sekelilingnya. Diksi ini kembali mengemuka karena melihat gaya hidup hedonis dari istri Kaesang, Erina Gundono, yang dianggap nirempati dengan situasi masyarakat. Erina plesiran ke AS menggunakan (diduga) jet pribadi. Ditambah pameran harga roti seharga 400 ribu rupiah.
***
20 Oktober nanti akan berganti dengan pemerintahan baru. Tentu diiringi bahasa-bahasa baru, istilah baru, yang bisa menjadi penanda rentang kekuasaan. Di kemudian hari bahasa-bahasa itu mungkin bisa terus bertahan atau bahkan tak dipakai lagi. Menghilang.