Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Mulyono, Tone Deaf, dan Bahasa-Bahasa pada Setiap Kurun Kekuasaan

30 Agustus 2024   09:16 Diperbarui: 30 Agustus 2024   09:16 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bahasa-Bahasa pada Setiap Kurun Kekuasaan. Gambar oleh TranThangNhat/ Pixabay 

Setiap kurun kekuasaan selalu punya (dan tercipta) bahasa-bahasa sendiri. Istilah, ungkapan, atau apa pun namanya itu mempunyai ciri khas,  yang ada hanya pada era kekuasaan itu berlangsung. Ada yang sudah hilang dan ada yang masih dipakai hari ini.

Pada era Soekarno hingga Megawati, bahasa-bahasa yang lahir cenderung dari pusat kekuasaan itu sendiri. 

Pada masa Presiden Soekarno bahasa-bahasa yang tercipta lebih menggelegar, terkesan heroik. Tentu ini pengaruh karena Indonesia baru lepas dari penjajahan. Maka lahirlah kata-kata seperti neo-kolonialisme, revolusi, Nasakom, Vivere Pericoloso (nyerempet-nyerempet bahaya), Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), Jas Merah (jangan sekali-kali melupakan sejarah), dan banyak lagi. Jangan lupakan istilah, "musik ngakngikngok".

Zaman Pemerintahan Presiden Soeharto, yang disebut Zaman Pembangunan, istilah-istilah yang muncul ada kaitannya suasana pembangunan. Transmigrasi, Trilogi Pembangunan, Repelita (rencana pembangunan lima tahun), SD Inpres, Pasar Inpres (Inpres= Instruksi Presiden), Kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa), penyesuaian harga, Tapos, Yayasan Beasiswa Super Semar, Bapak Pembangunan, dan lain-lainnya itu muncul di Zaman Soeharto.

Ada juga kata, daripada. Kata ini diucapkan Soeharto bila ia berbicara tanpa menggunakan teks. Kata ini diucapkan dengan menunjukkan arti: dari, oleh, dengan. Misalnya ada kalimat, "Pancasila itu harus diterapkan daripada seluruh rakyat Indonesia." Padahal kata daripada adalah kata untuk menunjukkan perbandingan.

Tentu tak ketinggalan, "ken". Ini sering diucapkan Soeharto untuk kata yang berakhiran "kan". "Dalam bahasa Indonesia tidak ada akhiran ken," kata ahli bahasa Indonesia, Yus Badudu, dalam sebuah acara Pembinaan Bahasa Indonesia di TVRI. Gara-gara ini, konon, Yus Badudu tak diperbolehkan lagi mengisi acara itu.

Selain itu terselip juga istilah Pungli (pungutan liar), Petrus (penembak misterius), mbalelo. "Siapa saja yang mbalelo, tak gebuk!" kata Presiden Soeharto pada suatu kesempatan.

Pada masa Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, tak terlalu banyak bahasa-bahasa yang tercipta. Ini tentu karena rentang kekuasaan ketiga presiden itu relatif singkat. Ada istilah Habibienomics, mengacu kepada kebijakan ekonomi era Presiden Habibie. Ini juga media massa yang menyebutnya.        

Gus Dur, apa ya? Ada Skandal Bulog Gate, yang mempercepat kejatuhan Gus Dur. Dan, "Gitu aja kok repot!"

Zaman Presiden Megawati muncul istilah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Era Presiden SBY, kebebasan bersuara lebih terbuka. Bahasa-bahasa tidak lagi lahir dari pusat kekuasaan, tapi dari kalangan masyarakat. Dalam suatu aksi demo ada seorang pendemo membawa seekor kerbau yang tubuhnya diberi tulisan Si BuYa, mengacu pada nama SBY, menggambarkan tindakan Presiden SBY yang terkesan ragu-ragu (atau lamban) dalam mengambil keputusan. Bahkan cover Majalah Tempo pernah memberi judul, Selalu Bimbang Ya?

Dan era Presiden Jokowi adalah di mana kegiatan media sosial begitu masif. Begitu bebas. Muncullah bahasa-bahasa dari masyarakat, yang berhadap-hadapan dengan kekuasaan.

Ada politik indentitas, buzzer, survei bayaran, Aseng-Asing, begal konstitusi, Mahkamah Keluarga, Mahkamah Adik, belimbing sayur, samsul. Binatang pun menjadi tersangka: cebong, kampret, kadrun (kadal gurun). Nama negara lain ikut terseret, dengan konotasi rasis: Cina, Yaman.

Harus dimasukkan pula revolusi mental, infrastruktur, tol, IKN, dan kerja, kerja, kerja.

Yang sarkasme dan pejoratif. Gorong-gorong, plonga-plongo, dungu, Konoha, hingga dinasti politik.

Dan Mukidi. Dan Mulyono.

Mulyono, tadinya saya tidak tahu apa maksudnya. Ternyata itu nama kecil Jokowi. Ini langsung ditangkap oleh kelompok yang tak suka kepada Pemerintah, dijadikan peluru sebagai kata ganti untuk nama Jokowi. Rezim Mulyono.

Tone Deaf ikut berkibar.

Tone Deaf adalah istilah musik yang berarti tuli nada. Istilah ini dapat juga diartikan untuk orang yang tak peduli, tak punya empati, terhadap sekelilingnya. Diksi ini kembali mengemuka karena melihat gaya hidup hedonis dari istri Kaesang, Erina Gundono, yang dianggap nirempati dengan situasi masyarakat. Erina plesiran ke AS menggunakan (diduga) jet pribadi. Ditambah pameran harga roti seharga 400 ribu rupiah.

***

20 Oktober nanti akan berganti dengan pemerintahan baru. Tentu diiringi bahasa-bahasa baru, istilah baru, yang bisa menjadi penanda rentang kekuasaan. Di kemudian hari bahasa-bahasa itu mungkin bisa terus bertahan atau bahkan tak dipakai lagi. Menghilang.

***

Lebakwana, Agustus 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun