Kompasianer satu ini, Felix Tani, kagak ade matinye.
Setelah sedikit bertobat, tak lagi merisak Admin dan para Kompasianer, diharapkan Felix menjadi Kompasianer agak manis. Namun, nyatanya tidak. Penyakit kenthirnya kambuh lagi.
Kemarin ini tetiba dia bercerita soal kencing di Kompasiana. "Aku sudah kencing di 22 provinsi Indonesia," Felix mengawali tulisannya. Bah! Ngesok 'kali orang satu ini.
Jokowi saja mungkin sudah kencing di semua provinsi Indonesia, dan di banyak kota. Dan di banyak kota pula di luar negeri. Tapi Jokowi tak pernah tuh pamer-pamer menulis di Kompasiana. Padahal kerjanya "cuma" jadi Presiden.
Bingung dengan perbandingannya? Sudah, jangan dibaca!
Felix! Felix Tani (yang sudah kencing di 22 provinsi) merasa takjub, heran, dan merasa diuwongke saat kencing di toilet Pasar Modern Bumi Serpong Damai (BSD). Merasakan kencing yang bermartabat, begitu istilah Felix Tani.
Bagaimana tidak. Felix yang sudah kencing di 22 provinsi ini, dan dia juga seorang pejalan, tahu betul tipe-tipe orang saat kencing. Ada gaya supir truk, berdiri di balik pintu depan mobil, dan serrr ...! Felix juga mengerti menyiasati kencing di balik pohon atau gerumbulan semak. Tentu, dia juga paham kencing di toilet berbagai terminal bus kota. Dari yang bersih, sedikit bersih, hingga bau pesing terampun-ampun. Ditambah peringatan di dinding WC: Bekas pembalut jangan dimasukkan ke lubang WC! Bikin mampet!
Jangan gagal paham. Felix Tani tidak menggunakan pembalut.
Kencing yang bermartabat. Kita bidikkan saja senjata kita di sini.
Pada suatu siang yang terik di Pasar Modern BSD, demikian kisah yang dituturkan Felix Tani, tergopoh-gopoh ia mencari toilet. Hasrat untuk membuang hajat sudah sampai di ujung tembak.
Langkah Felix terhenti. Ia tertegun-tegun di pintu masuk toilet. Pintu itu dihalangi besi-besi seperti kita akan memasuki stasiun kereta, yang -- mengutip Felix -- namanya tripod turnstile. Astaga, untuk urusan kencing pun mempunyai nama pintu yang aneh (Felix menulis, keren). Tapi, tidak selesai sampai di situ. Agar pintu itu terbuka harus menggunakan barcode.Â
"Boleh bayar pake QRIS atau uang tunai lima ribu," kata nona penjaga yang manis.
Tuhan, ampunilah orang-orang kota ini. Untuk urusan kencing pun mereka begitu tersiksa. Bagaimana kalau tidak ada uang tunai dan QRIS-nya mengalami kendala? Bendungan keburu jebol dan terjadi banjir bandang, tauk!
Toilet semacam ini juga akan membuat gusar orang-orang yang mengarang buku Pelajaran Bahasa Indonesia, Bab Peribahasa. Apa kita tidak kasihan kalau mereka mengubahnya menjadi, "Guru kencing berdiri, murid kencing pake QRIS."
OMG! Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â (Baca: Oh-em-ji; Oh, my God; Oh-em-ge; terserah pilih mana yang disukai).
"Tapi toilet ini dibuat perusahaan start up Swiss," Felix setengah kagum. Setengahnya lagi Felix mempertanyakan kenapa bukan perusahaan rintisan Indonesia yang memeloporinya.
Felix yang sudah kencing di 22 provinsi ini merasakan sensasi yang agak laen saat kencing di toilet BSD itu. Ruangan ber-AC, wangi, beda jauh dengan ritual kencing yang dialaminya selama ini.
Aku kutip apa yang dirasakan Felix saat itu:
"Sungguh, itu suatu peristiwa kencing yang amat puitis. Rasanya ingin sedikit berlama-lama di situ menikmati puisi dalam lakon kencing itu."
Terus terang, Â aku yang biasa menulis puisi receh langsung tersedak membaca penggambaran Felix soal kencing bermartabat itu. Hey, dia bilang itu seperti menikmati puisi? Sakit hati! Ah, kamu tentu lebih mengerti perasaanku 'kan, Beib?
Dan kepalaku makin berdenyut ketika artikel "kencing bermartabat" itu diganjar menjadi Artikel Utama oleh Admin. Aku langsung buru-buru ke warung sebelah minta obat Paracetamol. "Catat aja dulu, gabung dengan rokok yang diambil pagi tadi," kataku kepada ibu penjaga warung.
Cukuplah. Oh, ya, aku ingatkan lagi, Felix Tani sudah kencing di 22 provinsi.
***
Lebakwana, Juni 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H